Mewujudkan lingkungan yang baik harus didasari dengan penguatan tata kelola lingkungan berdasarkan pengetahuan. Kekayaan alam indonesia merupakan karunia dari Tuhan yang harus kita syukuri bersama. Banyaknya flora dan fauna di berbagai dari harus tetap dirawat dan dilindungi.
Peraturan terhadap tata kelola lingkugan memang sudah diatur dalam undang-undang. Sama dengan undang-undang masyarakat adat.
Alasan kenapa pengelola lingkungan ini dikesinambungkan dengan masyarakat adat karena pada dasarnya campur tangan pemerintah terhadap masyarakat ada akhir-akhir ini banyak sekali terjadi.
Campur tangan ini tentu bukan tanpa alasan. Keterlibatan korporasi untuk melakuakn investasi besar-besaran di wilayah hukum masyarat adat membuat masyarakat terkena diskriminasi. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat bahwa masyarakat adat yang ada di Indonesia sebagian besar diduga dikriminalisasi. Rata-rata tuduhan yang mereka tujukan adalah penyalahgunaan hutan dan membakarnya.
Sebanyak 11 orang Suku Anak Dalam di Batang Hari Jambi dikenai Pasal 170 KUHP karena dituduh merusak dan melakukan penganiayaan. Kemudian, terdapat 27 orang warga di Kabupaten Wahoni Sulawesi Tenggara dan 6 orang peladang di Sintang Kalimantan Barat dikenakan UU Lingkungan Hidup Nomor 32, Perkebunan dan KUHP.Â
Selanjutnya, dua orang masyarakat adat di batak dituduh menganiaya karyawan perusahan Toba Pulp Lestari (TPL), masyarakat adat di Sumba NTT terkena UU ITE 1 orang, pasal pencemaran nama baik d Ketapang Kalimantan Barat yang sedang dalam proses persidangan, serta satu orang masyarakat adat di Muara Teweh Kalimantan Tengah yang terkena UU Lingkungan Hidup Pasal 36 pembakaran ladang.
Dalam proglegnas tahun 2020 undang-undang masyarakat adat adalah salah satu tujuannya. Tetapi belum juga selesai sampai sekarang. Banyak alasan yang menjadi kendala undang-undang masyarakat adat tidak disahkan, salah satunya menurut DPR masih dalam tahap pembahasan dan harmonisasi dengan DPR.
Berdasarkan hasil Rapat Konsultasi Pengganti Rapat Bamus 2 Juli 2018 masa persidangan V 2017-2018 memutus, RUU Masyarakat Adat dibahas Badan Legislasi. Sayangnya, sampai akhir masa Jabatan DPR 2014-2019, pemerintah tak menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) kepada DPR. Alhasil, pembahasan RUU Masyarakat Adat tak selesai.
Bahkan pada saat membuka situs milik DPR, rancanga undang-undang ini masih tahap penyusunan dengan status undang-undang yang lama. Sehingga untuk perlindungan masyarakat hari ini masih tumpah tindih yang hasilnya terjadi diskriminasi kepada masyarakat adat yang melawan.
Selama keperpihakan undang-undang masih berada pada tangan korporasi maka selama itulah masyarakat adat akan terus mendapatkan tindikan diskriminasi.
Padahal pada dasarnya masyarakat adatlah sebagai penjaga lingkungan terbaik. Mereka mampu hidup  di hutan belantara dengan memanfaatkan segala yang ada dengan tidak merusaknya.