[caption id="attachment_337894" align="aligncenter" width="300" caption="Menggelar lapak di luar los pun senang (AS)"][/caption]
Sinar matahari kuning keemasan seolah menyepuh atap-atap los dan terpal lapak-lapak yang dihamparkan di tanah. Satu per satu pedagang mulai bersiap untuk sore yang sibuk. Sebagian pedagang baru mulai menata barang dagangan, sebagian lainnya sudah duduk manis menunggu para pembeli.
Suara gemuruh mesin pemarut kelapa dan penggiling kopi berbaur alunan irama dangdut dari lapak yang menjajakan aneka compact disc (CD). Sesekali terdengar teriakan bernada rayuan dari para pedagang kepada para pengunjung untuk mampir di lapak-lapak mereka. Suara-suara riuh itu terbang bersama aroma pisang goreng dan bakwan di langit Desa Sukaraya. Semenjak berdirinya pasar desa, kegaduhan yang dinamis melanda desa yang terletak di pelosok Kecamatan Bone Bone, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, kurang lebih 480 kilometer dari arah utara Makassar.
Dahulu warga Desa Sukaraya jika hendak membeli kebutuhan sehari-hari harus ke pasar di kota kecamatan yang jaraknya puluhan kilometer. Meski sarana jalan sudah baik tetapi sarana transportasi publik ke kota kecamatan belum tersedia. Satu-satunya alat transportasi yang ada adalah menyewa ojek yang tarifnya Rp5 ribu-Rp10 ribu sekali jalan. Tarif yang tentu saja akan memberatkan warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani penggarap.
[caption id="attachment_337895" align="aligncenter" width="300" caption="Bersiap menggiling kopi lokal (AS)"]
Sutikno (50), kepala desa, menceritakan bagaimana dia merintis pasar desa demi membantu warga desanya keluar dari kesulitan hidup. Sambil berkeliling pasar seluas 2.500 meter persegi yang bangunannya sebagian besar masih semi-permanen tersebut, kepala desa yang ramah itu berkisah proses pembangunan pasar dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengelolaannya. Sesekali dia mengajak saya mampir di los-los pedagang yang kami lewati. Menjabat tangan mereka dan berbincang sejenak.
Sebagai langkah awal, Sutikno melaksanakan pertemuan dengan perangkat desa dan tokoh masyarakat desa lainnya. Kesimpulannya, mereka harus menyampaikan kebutuhan akan pasar kepada pemerintah daerah (pemda). Permintaan warga desa seperti tidak bertepuk sebelah tangan. Pemda merespons tetapi anggaran yang tersedia tidak cukup untuk membangun pasar hingga selesai. Alokasi anggaran dari pemda hanya sebesar Rp40 juta padahal berdasarkan kalkulasi proyek, untuk membangun pasar sederhana membutuhkan Rp125 juta.
Tidak mengapa. Warga desa tetap senang. Berbekal bantuan pemda Rp40 juta tersebut pembangunan pasar desa pun dimulai. Untungnya, warga desa telah menyiapkan lahan untuk lokasi pasar. Lahan yang bersumber dari swadaya warga desa. Pemda membantu memberi kemudahan dalam pengurusan sertifikat tanahnya.
[caption id="attachment_337863" align="aligncenter" width="300" caption="los pakaian (AS)"]
Bagaimana menyiasati pembangunan pasar sederhana dengan anggaran awal Rp40 juta? Dana awal bantuan pemda yang Rp40 juta digunakan untuk membeli bahan-bahan material seperti semen, seng, dan paku. Sedangkan bahan materialnya lainnya termasuk kayu bisa disediakan warga desa. Warga desa memiliki banyak kayu tetapi tidak memiliki semen, seng atau pun paku. Pengerjaan pembangunan pasar tidak harus menyewa buruh bangunan tetapi dilakukan warga khususnya yang memiliki keahlian dalam tata bangunan. Warga desa secara keroyokan membangun pasar.
Kurang dari tujuh bulan pembangunan pasar desa pun selesai. Memang belum sempurna selain sebagian besar bangunan masih semi permanen juga hanya los utama yang dilantai semen. Tetapi, sekali lagi warga desa yang umumnya transmigran dari beberapa daerah di Pulau Jawa dan Bali tersebut sudah merasa senang. Pengurus pasar pun dibentuk di manakepala desa duduk sebagai penasehat. Ada ketua, sekretaris, bendahara dibantu tiga bidang yakni pemeliharaan, keamanan, dan humas.
Saat saya berkunjung 2011 lalu ketika pasar baru selesai dibangun selain terdapat satu los permanen yang telah berlantai semen dan telah dibagi dalam 20 petak/kios, juga terdapat los-los semipermanen yang telah ditempati puluhan petak/kios. Para pedagang tersebut tidak harus membeli kios, namun demikian mereka harus membayar retribusi pasar sebesar Rp1000 per hari.
Sebenarnya uang retribusi tersebut bukan untuk siapa-siapa tetapi akan dikembalikan kepada para pedagang dan warga desa. Bagaimana bentuk pengembaliannya? Retribusi yang masuk di kas bendahara pasar selain digunakanuntuk biaya pemeliharaan dan keamanan pasar juga kelak diperuntukkan sebagai biaya pembangunan los yang baru.
Menurut pengakuan kepala desa, kehadiran pasar desa tidak hanya memudahkan warga desa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasar desa memiliki banyak fungsi dalam menggairahkan ekonomi desa diantaranya: tempat memasarkan hasil kebun dan pertanian warga desa, menciptakan lapangan kerja, dan menghidupkan lembaga perkreditan desa (LPD) dan koperasi unit desa (KUD) sekaligus membebaskan warga desa dari praktik tengkulak.
Capek berkeliling pasar saya dan kepala desa mampir di kios penjual gorengan. Memesan segelas kopi panas dan sepiring pisang goreng. Sore yang sempurna di pasar desa yang hanya buka sekali seminggu dari sore hingga malam. Di tengah senda gurau para pedagang pikiran saya melayang pada teori-teori pembangunan yang banyak didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan penting. Diskusi tentang teori pemerataan pembangunan.
[caption id="attachment_337923" align="aligncenter" width="300" caption="Gorengan hangat (AS)"]
Ya, dahuluparadigma pembangunan hanya menekankan pertumbuhan ekonomi. Seluruh kegiatan pembangunan hanya dipusatkan di wilayah-wilayah yang dianggap potensial mendukung pertumbuhan. Akibatnya terjadi disparitas regional dalam hal kemajuan. Teori pertumbuhan ekonomi adalah paradigma pembangunan lama.
Kekeliruan paradigma lama itu pula yang menyebabkan lahirnya paradigma baru; yakni paradigma pembangunan yang menyeimbangkan aspek-aspek pertumbuhan (eficiency), keberlanjutan (sustainability), dan pemerataan (equity). Teori pemerataan ekonomi inilah paradigma pembangunan yang baru.
Apa keuntungan mendasar dari perubahan paradigma tersebut?Pertama, polarisasi spasial, misalnya antara kota dan desa, dapat dikurangi. Kedua, alokasi sumber daya-sumber daya juga bisa lebih merata. Ketiga, pembangunan yang mulai menyasar desa berdampak tumbuhnya perekonomian desa yang serta-merta menciptakan lapangan kerja dan menekan laju urbanisasi.
[caption id="attachment_337865" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama pak Sutikno, kepala desa yang gigih (AS)"]
Sore semakin tua. Saya buru-buru menghabiskan sisa kopi dalam gelas. Karena harus melanjutkan perjalanan ke satu tempat lainnya, saya terpaksa meninggalkan pasar desa yang semakin ramai. Ya, keramaian pasar akan terasa lebih hangat pada malam hari. Kilau dan gemerlap lampu-lampu pasar dan alunan berbagai irama musik bersenyawa menghidupkan suasana desa. Tumbuh dan bergairahlah pasar desa, pasar rakyat!
Catatan: Pengalaman saat mengunjungi pasar desa di Desa Sukaraya untuk kegiatan survei inovasi pemerintah daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H