Mohon tunggu...
Ahmad Syaikhu
Ahmad Syaikhu Mohon Tunggu... profesional -

Bermanfaat Bagi Sesama | Wakil Walikota Bekasi | www.AhmadSyaikhu.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemuda, Harapan dan Impian

30 Oktober 2016   11:06 Diperbarui: 30 Oktober 2016   11:14 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Oktober adalah bulannya para pemuda. Karena pada bulan ini tepatnya tanggal 28 Oktober, 88 tahun silam lahirnya Sumpah Pemuda sebagai hasil dari Kongres Pemuda II yang gagasan penyelenggaraannya berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia.

Dalam berbagai sejarah kebangsaan, pemuda selalu mengambil peranan penting dalam pergerakan nasional. Hal ini menjadi bukti bahwa pemuda adalah ujung tombak bagi perjuangan, perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Baik buruknya suatu negara dapat dilihat dari kualitas para pemudanya.

Karena itulah tidak berlebihan jika masa depan sebuah negara dan bangsa sangat tergantung dari peranan para pemudanya, karena pemuda adalah pilar yang akan menopang kekuatan dari sebuah bangsa.

Seperti ungkapan yang disampaikan Bung Karno : "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia"

Pemuda merupakan fase perkembangan emosional dan puncak kekuatan pisik manusia. Wajar bila pemuda menjadi stok sumber daya manusia sebuah bangsa. Agen perubahan dan aktor pembangunan baik saat ini maupun masa yang akan datang. Pemuda juga sebagai  generasi penerus estafet sebuah bangsa.

WHO menyebut sebagai ”young people” dengan batas usia 10-24 tahun, sedangkan usia 10-19 tahun disebut ”adolescence” atau remaja. International Youth Year yang diselenggarakan tahun 1985, mendefinisikan penduduk berusia 15-24 tahun sebagai kelompok pemuda.

Salah satu dari elemen komunitas pemuda adalah pelajar, yang mempunyai berbagai karakteristik yang menonjol. Karena generasi muda cenderung memiliki sifat-sifat itu antara lain dinamis, spontan, mudah meniru, kreatif, agresif, heroik, bersemangat, aktif, rasa ingin tahu yang besar, tingkat emosi yang masih labil dan belum memiliki kematangan jiwa yang mantap. Segala kelebihan dan kekurangan yang melekat pada pelajar tersebut merupakan aset bagi negeri ini yang harus terus diasah dan dikembangkan agar mereka bisa menjadi bagian dalam proyek besar penegakan kemajuan suatu bangsa.

Namun sangat disayangkan apa yang terjadi saat ini, di mana kondisi pemuda atau pelajar Indonesia banyak mengalami degradasi moral. Mereka saat ini tidak lagi bisa menjadi sosok yang diharapkan, dibanggakan dan tidak lagi mampu menjadi teladan masyarakat sebagai kaum yang terpelajar. Gaya hidup hedonis yang tercipta di kalangan sebagian generasi muda saat ini begitu lekat dengan sikap yang penuh dengan pesta dan hura-hura.

Tawuran pelajar, free sex dan gaya permisivisme (gaya hidup serba boleh) dijadikan sebagai pelengkap hidup yang wajar dan biasa. Bahkan boleh dikatakan generasi muda yang tidak melakukan hal ini adalah generasi yang tidak mengikuti perkembangan zaman.

Data dari Aliansi Selamatkan Anak (ASA) juga menyebutkan bahwa Indonesia rentan terhadap penetrasi Narkotika. Masalah ini timbul dikarenakan lemahnya pengawasan orangtua, keluarga serta orang terdekat termasuk pula lemahnya pendidikan agama sebagai dasar pendidikan yang mengakibatkan mereka terjerumus pada titik kehancuran. Karena itu untuk menyelamatkan generasi muda agar keluar dari masalah ini perlu adanya kerjasama semua pihak; baik sekolah, keluarga ataupun pemerintah.

Sekolah, sebagai salah satu instrumen penting dalam pendidikan perlu mengambil peran signifikan untuk hal ini. Perlu upaya sistematis dan terukur agar generasi Indonesia di masa mendatang tidak menjadi generasi yang memiliki moral yang rendah. Oleh karena itulah, program pendidikan yang ada di Indonesia haruslah mencakup dari segi intelektual, emosional dan spiritual. Tidak hanya mengutamakan pendidikan untuk intelektualnya saja seperti yang banyak terdapat di sekolah-sekolah saat ini, tetapi juga harus mengajarkan pendidikan tentang emosional dan spiritualnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun