Mohon tunggu...
Ahmad Sunarto
Ahmad Sunarto Mohon Tunggu... -

Bocah Angon

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Barokatisme, Pesantren, dan Kawah Condrodimuko

5 Januari 2015   22:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:45 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kobaran api tampak membumbung tinggi, liar dan ganas membakar, menggulung awan di atasnya, gemuruh suaranya terdengar mengancam, menakutkan bagi siapa yang mendengarkan, sesekali bumi berguncang disertai dengan geraman api itu yang terlihat berkali-kali dihembuskan dan dimuntahkan oleh gunung yang menjulang tinggi. Itulah sedikit deskripsi imajinatif kawah condrodimuko.
Kawah condrodimuko adalah kawah yang terdapat di alam kahyangan. Di kawah inilah, Batara Narada memasukkan jabang bayi Tutuka anak Bima bersama dengan pusaka-pusaka, yang kemudian digembleng oleh Batara Empu Anggajali sebagai proyek kaderisasi calon ksatria. Bayi itulah yang kemudian lebih dikenal dengan gatot kaca satria pringgodani otot kawat balung besi. Kesaktian dan kedigdayaan yang dimiliki gatot kaca berkat gemblengan di kawah condrodimuko menyebabkan anak bima itu sanggup mengalahkan musuh para dewa.
Dalam prespektif kekinian, istilah kawah condrodimuko ini merujuk pada bahwa seorang pemimpin tidak cukup dilahirkan dari pencitraan oleh simulasi pembentukan opini, tapi sejatinya seorang pemimpin itu lahir dari penggemblengan melalui jenjang pendidikan, pelatihan, dan ujian-ujian berat yang harus dilaluinya. Pemimpin sejati selalu akan melewati perjuangan di kawah condrodimuko, sebagaimana dikatakan oleh bung karno, bukan hasil dari permainan sulap dan pencitraan.
adalah pesantren, sebagai lembaga pendidikan asli nusantara, sudah terbukti melahirkan banyak pemimpin-pemimpin besar. Tidak sedikit pemimpin-pemimpin umat, ksatria-ksatria bangsa ini yang merupakan eks gemblengan pesantren “kawah condrodimuko” oleh para batara “kiyai”.
Sistem asrama atau pondok sebagai karakteristik tradisi pesantren, merupakan elemen paling penting yang membedakan dengan sistem pendidikan lain. Adanya tembok atau pagar yang mengelilingi komplek pesantren tidak lain untuk menjaga keluar masuknya para santri, mereka tidak boleh keluar masuk semaunya. Dengan sistem asrama, maka terciptalah apa yang disebut oleh Gusdur “Pesantren Sebagai Subkultur”. Di Lingkungan itu, masyarakat pesantren (kyai dan para santri) melakukan sholat, dzikir, mengaji kitab, menghafal al-Quran, menghafal nadzoman, sampai dengan makan, tidur, dan kegiatan-kegiatan lain. Semakin lama santri berada di pesantren, maka semakin banyak yang akan ia dapatkan, semakin banyak keberkahan yang akan ia peroleh. Ya, barokah. Pesantren identik dengan barokah. Lalu, apa itu barokah?
Secara bahasa, barokah berarti bergerak, tumbuh, berkembang, dan bahagia (lihat kamus Al-Muhith). Adapun secara terminologi, dijelaskan di dalam kitab Riyadlus Sholihin, barokah berarti sesuatu yang menambah kebaikan kepada sesama. Sedangkan menurut Prof. Shobah Ali Al-Bayati seorang cendikiawan muslim Irak, mengartikan barokah sebagai “energi positif” yang luar biasa dahsyatnya, yang terpancar ketika seseorang berhubungan dengan sesuatu, tentunya atas izin Allah SWT.
Di dalam Al-Quran, term barokah banyak kita temukan, ada barokah yang berkenaan dengan tempat, baca Q.S. Al-Qoshos: 30/ Al-Mukminun: 29/ Ali-Imron: 96. Ada yang berkenaan dengan waktu, baca Q.S. Ad-Dukhon: 3.
Masyarakat Pesantren adalah masyarakat barokatisme, banyak santri yang belajar di pondok cenderung semata-semata mengharap “barokahe kiyai/pondok”. Lalu apa asbab yang menjadikan pesantren itu memberkahi masyarakatnya? Jawabannya bisa kita temukan dengan memahami definisi yang diajukan oleh Prof. shobah Ali Al-Bayati di atas, bahwa barokah itu sebuah energi positif. Ya, energi itu terdapat di dalam pesantren, kenapa? Karena pesantren itulah sebuah lingkungan yang selalu dibacakannya ayat-ayat suci Al-Quran, di dalamnya selalu ada orang-orang yang berdzikir, berpuasa, belajar ilmu agama, 24 jam selalu ada orang yang beribadah secara estafet, ibadah-ibadah inilah yang membentuk pusaran energi pesantren. Hal ini tidak jauh beda dengan apa yang diistilahkan oleh Agus Musthofa dengan pusaran energi ka’bah, kenapa Al-Quran menyebut ka’bah dengan Bakkata Mubaroka (mekkah yang diberkahi)? Membaca tulisan ini, saya yakin anda bisa menjawab sendiri.
Pesantren adalah kawah condrodimuko, dengan energi keberkahan yang ada di dalamnya, telah memproduksi pendekar-pendekar, generasi-generasi yang tidak hanya cerdas akalnya, tapi juga tajam keruhaniannya, sehingga selalu ikut berpartisipasi dalam membangun peradaban bangsa ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun