"Kuliah sastra, ya? Anak senja, dong!"
Ujaran seperti itu dan sejenisnya barangkali sudah khatam terdengar bagi mereka yang berkuliah di Fakultas Sastra (Ilmu Budaya sekarang, supaya adil). Toh, tidak mengapa. Hati mereka sudah lebih dahulu dilapangkan sejak slogan "Kuliah sastra, lulus mau jadi apa?" Kurang lebih seperti penggalan lirik tersebut yang disenandungkan oleh Orkes Hamba Allah. Perbedaannya, ujaran tersebut dulu tidak diiringi dengan nada-nada riang seperti demikian, melainkan dengan rasa ragu dan remeh dari orang-orang terdekat.
Lantas, mengapa stereotip ini muncul ke permukaan dan tanpa sopan santun membebani moral mereka? Barangkali, tidak sedikit juga yang merasa sok-sok saja atau tidak peduli sebenarnya. Fenomena ini diduga muncul dari tumpang tindihnya antara pengarang dan kritikus dalam pandangan umum. Di sisi lain, banyaknya pemuisi baru di jagat maya diduga terlalu sering mengandalkan lema yang sama, kopi dan senja.
Kata 'kopi' sering menjadi simbol atas kepedihan dan kesengsaraan hidup. Pahitnya disetarakan dengan rasa sakit. Hitamnya disamakan dengan gelapnya hati. Ketagihannya dijadikan jalan pelarian supaya terlihat tegar sebagai manusia. Bagaimana dengan kuning-kuning di giginya? Kurang sikat gigi, barangkali.
Sedangkan kata 'senja' sendiri menjadi simbol atas kepergian, kesementaraan, dan perpisahan. Asumsi ini mengukur dari pandangan atas senja yang mendatangkan malam yang gelap serupa hati tanpa orang yang dikasihi. Senja menjadi simbol atas ritual sakral nan syahdu atas pertemuan terakhir dua insan manusia atau manusia dengan imajinasinya. Kurang lebih begitu kiranya.
Tentunya lebih banyak lagi ragam pemanfaatan atas dua kata tersebut dalam unggahan puisi dan prosa yang lalu lalang di media sosial. Tentu tidak ada niatan untuk sombong atau merasa punya ilmu lebih mumpuni. Terserah pula ingin memakai kata-kata yang tersedia karena kreativitas tidak bisa dikekang agar berkembang. Akan tetapi, barangkali ini yang perlu digarisbawahi.
Mahasiswa sastra hanya belajar mengapresiasi segala bentuk sastra, bukan lantas menjadi sastrawan atau pelaku utama dalam dunia kesusastraan itu sendiri. Jika memang ada yang bekerja di ranah selaras dengan kuliahnya, maka kebetulan memang sudah ditakdirkan. Kasus seperti ini pun tidak hanya di fakultas yang dikira paling mudah masuknya. Padahal, lulusnya sendiri belum tentu semudah kelihatannya.
Sapardi Djoko Damono pernah berujar, "Fakultas Sastra tidak mencetak sastrawan." Kalau demikian, lantas untuk apa?
Sebagai mahasiswa jurusan sastra, mereka belajar mengapresiasi segala yang berada dalam ranah kesusastraan dan refleksinya dalam masyarakat. Mereka membedah segala yang tidak sempat direkam atau bahkan sengaja disembunyikan dari berita dan dokumentasi umum lainnya yang terancam tekanan penguasa. Ada yang klasik. Ada yang modern. Ada yang tersurat dan ada yang tersirat. Tentu dengan bermacam pelajarannya yang mengejutkan bagi yang tidak pernah mengira akan sedemikian susahnya.
Mereka sangat jarang (bahkan tidak pernah di beberapa kasus) memiliki tugas untuk membuat karya sastra. Mereka tidak benar-benar diajarkan caranya membuat sebuah karya yang mampu menjadi karya kanon. Kalau nanti berminat belajar di sana, kurang lebih akan diajarkan tentang teori-teori untuk membedah karya sastra. Itulah sebabnya kami sering menghubungkan uraian dan aspek lain yang tergambar di karya sastra dengan kondisi nyata di masyarakat. Dengan argumen dan landasan teori yang kuat, tentunya.