Mohon tunggu...
ahmad suhudi
ahmad suhudi Mohon Tunggu... -

..hanya lelaki biasa yang kadang berlaku tidak biasa,memikirkan hal yang tidak biasa,dan..hmh,tersenyum dengan cara yang tak biasa,alah :-)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Keledai Juha dan Hidup Kita

8 Januari 2015   05:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:34 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Judulnya Bapak, Anak dan Seekor Keledai. Cerita pendek ini saya baca di buku kumpulan dongeng milik anakku. Kisahnya sendiri sederhana tapi menjadi favorit saya beberapa minggu terakhir ini. Bercerita tentang seorang lelaki paruh baya di timur tengah nun jauh disana bernama Juha yang memiliki seorang anak lelaki. Diceritakan ia juga memelihara seekor keledai.
Suatu hari, Juha berniat mengajak anaknya jalan-jalan ke kota bersama keledainya. Diawal cerita dikatakan Juha menaiki keledainya diikuti anaknya yang berjalan dibelakangnya. Orang orang yang melihatnya menegurnya dengan mengatakan betapa kejamnya ia, karena rela membiarkan anaknya yang masih muda berjalan kaki, sedangkan ia enak-enakan naik keledai. Juha-pun merasa tidak enak, ia turun dan menyuruh anaknya gantian menunggangi keledai sedang ia yang berjalan kaki.

Tak berapa lama, lagi-lagi mereka bertemu orang yang menegur mereka. Kali ini yang kena tegur anaknya, yang dituduh sebagai anak yang tidak tahu budi karena tega membiarkan bapaknya yang sudah tua berjalan kaki, sedangkan ia yang masih muda nan sehat malah naek keledai. Juha dan anaknya pusing. Mereka tidak mengerti apa maunya orang-orang ini, sehingga setiap tindakannya selalu salah. Bingung, akhirnya mereka berdua berjalan kaki dengan menuntun keledainya. Lagi-lagi, mereka bertemu orang yang sekarang malah menertawai mereka, dengan berkata betapa bodohnya mereka berdua ini, punya keledai bukannya dikendarai malah dituntun.
Juha mulai emosi. Dia lalu mengajak anaknya untuk menaiki keledainya bersama-sama. Ia berharap kali ini mereka tidak lagi dikritik ataupun ditertawai. Tak lama, mereka malah bertemu sekelompok orang yang memarahi mereka. Juha dan anaknya dituduh berbuat aniaya pada keledai, hewan peliharaannya yang kurus malah mereka menaikinya berdua. Tak pantas dua orang yang sehat bugar menzhalimi sesama makhluk tuhan, walaupun itu berwujud keledai piaraan.
Juha mulai stress. Ia kebingungan mengapa semua tindakannya selalu salah. Akhirnya ia mengambil keputusan, ia mengajak anaknya untuk turut serta memanggul keledainya sampai ke kota. Yup, diujung cerita, Juha dan anaknya serta keledai mereka tak lebih menjadi bahan tertawaan orang-orang, dianggap sepasang orang tak waras yang memanggul keledai entah buat apa.
Saya suka cerita ini, bukan karena apa tapi tersadar betapa nyatanya kisah Juha dalam hidup kita sehari-hari. Betapa banyak energi yang kita habiskan hanya karena selalu bertindak berdasarkan tanggapan orang lain. Kita melakukan sesuatu bukan dengan standar kita tapi menunggu standar dari orang lain. Juha adalah kita yang berharap kebahagian dengan pendapat orang lain. Juha adalah kita yang merasa senang karena jalan bersama dalam gerombolan orang lain, meski mereka adalah kumpulan para begundal. Tak apa, asalkan tak ada yang menuduh, tak ada yang menertawai dan tak ada yang mengatakan itu salah. Tak apa, asal kita tenang dan nyaman.
Tak peduli betapa sempurna kita memoles diri, akan selalu ada orang lain diluar sana yang menemukan jerawat kita. Tak peduli sempurna bagaimana kita menjalani hidup, akan selalu ada orang yang berpendapat bahwa kita melakukan kejahatan terhadap kemanusian. Seperti ungkapan yang pernah saya baca entah dimana, hidup ini seperti maen angry bird, tiap kita terjatuh akan selalu ada babi yang tertawa. Satu-satunya jalan agar tak ada babi yang menertawaimu hanyalah dengan cara hidup seperti babi. Jadi inilah mungkin pilihannya, kita bisa menjalani hidup apa adanya dengan resiko dikritik dan ditertawakan atau menjadi sama dan disamakan demi hidup nyaman, bahkan mungkin bisa sambil ikut tertawa dan menertawakan mereka yang berbeda. Nikmati saja hidupmu, bersenandunglah dan biarkan mereka tertawa. Menjadi berbeda itu hak, selama kau tak memaksakan orang lain ikut berbeda dengan cara bedamu. Karena diujung setiap cerita hidup, satu-satu makhluk yang pantas menertawaimu secara ideal, adalah diri kita sendiri.
Mari menertawai diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun