Mohon tunggu...
ahmad suhudi
ahmad suhudi Mohon Tunggu... -

..hanya lelaki biasa yang kadang berlaku tidak biasa,memikirkan hal yang tidak biasa,dan..hmh,tersenyum dengan cara yang tak biasa,alah :-)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"I Started A Joke" dan Hukum Ketiga Newton

11 Januari 2015   20:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:21 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seminggu terakhir sedang ramai dengan pemberitaan tentang peristiwa penyerangan kantor majalah satir Charlie Hebdo di Paris oleh dua (atau tiga ?) orang bersenjata senapan kalashnikov, berujung tewasnya 12 orang termasuk pemimpin redaksinya, Stephane Charbonnier.  Ada dugaan serangan itu dipicu oleh aksi majalah tersebut yang menampilkan kartun tentang pemimpin kelompok negara islam (ISIS) Abu Bakr al-Baghdadi. Majalah ini sendiri telah lama dikenal sebagai majalah satir yang sering menampilkan kartun yang menyerang,menyinggung dan mengolok-olok semua hal yang menurut mereka tidak benar atau mereka tidak setuju. Tak kurang Nabi Muhammad SAW berulang kali menjadi obyek lelucon majalah tersebut.

Sontak seluruh dunia seperti tersulut, mengatakan ini sebagai bentuk penyerangan terhadap kebebasan berpendapat. Bahwa setiap orang berhak menyampaikan ekspresinya dalam bentuk apapun, bahwa aksi ektrimis tersebut sebagai bentuk upaya pembunuhan terhadap dunia jurnalisme bebas. Tapi benarkah demikian?. Saya malah melihat bahwa upaya penyerangan oleh 3 orang tersebut adalah bentuk dari kebebasan berekspresi juga. Ketika para pemuja kebebasan itu memaklumi para kartunis di majalah tersebut yang memakai pensil sebagai senjata untuk menyerang keyakinan orang lain, mengolok-olok sesuatu yang bagi orang tertentu sebagai hal yang suci, mengapa kemudian mereka tak bisa menerima bentuk kebebasan ekpresi orang lain yang menggunakan senjata api?. Jangan berkata, olok-olok dengan gambar kartun mestinya dibalas dengan olok-olokan juga, sebab itu berarti mereka menjilat ludah tentang makna kebebasan itu sendiri. Adalah lucu berbicara soal kebebasan tapi makna kebebasan itu dibatasi oleh hal yang menyenangkan pihak tertentu saja.

Serangan tersebut membuktikan bagaimana bila kita menjunjung kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi secara bablas tanpa mengindahkan tenggang rasa. Para kartunis itu memuja berekpresi dengan kartun kartun yang menginjak keyakinan orang-orang yang tidak mereka yakini, disisi lain para penyerang bersenjata api tersebut adalah pemuja kebebasan berekspresi yang tidak menghargai nilai kesucian hidup orang lain. Bahwa pensil sama menyakiti dan tajamnya dengan pedang atau senjata api. Orang-orang itu lupa bahwa setiap aksi akan menghasilkan reaksi. Aneh bila kemudian berharap bahwa tak akan ada imbas dari semua hal yang kita lakukan, atau malah berharap reaksi yang kita bakal terima adalah bentuk reaksi yang kita inginkan.

Itulah mungkin kenapa dulu guru fisika kita marah-marah ketika kita bolos sekolah, ini lebih agar kita tahu bahwa fisika itu penting bagi hidup kita. Semata agar kita tahu bahwa ada namanya hukum ketiga Newton, yang berbunyi : Actioni contrariam semper et aequlem esse reactionem : sive corporum duorum actiones in se mutuo semper esse aequles et in pertes contrarias dirigi. Apabila sebuah benda memberikan gaya kepada benda lain, maka benda kedua memberikan gaya kepada benda pertama, kedua gaya tersebut besarnya sama cuma berlawanan arah. Rumusnya begini, ƩFa,b = -ƩFb,a . Bahasa persilatannya, ente jual,ane beli. Ringkasnya, setiap aksi yang anda berikan, anda berhak merasakan reaksi. Jadi ketika kita memakai bentuk kebebasan berekspresi untuk menyerang orang lain, bersiaplah untuk diserang secara bebas juga oleh orang tersebut.

Mengolok-olok agama, menjadikan kepercayaan orang lain sebagai bahan becandaan, adalah mungkin bentuk becandaan yang paling beresiko. Pencerapan setiap orang, bentuk cinta seseorang, kedalaman pemahaman seseorang tidak sama terhadap agama. Mustahil kemudian kita memakai kacamata kita terhadap agama untuk menilai pencerapan orang lain terhadap agamanya. Itulah mungkin kenapa saya selalu pesimis terhadap segala bentuk dialog antar umat lintas agama, apalagi berujung debat tentang keabsahan agama masing-masing. Orang boleh berkoar-koar tentang besarnya peranan sikap rasional dalam beragama, tapi faktanya adalah ketika menyangkut keyakinan terhadap agama itu sendiri, logika kadang kala tertinggal dalam lemari. Yang muncul kepermukaan adalah nafsu.

Semua muslim mengaku cinta Baginda Rasullah SAW, tapi berapa banyak yang mampu hidup sesuai hadist : Tiga akhlak ahli surga adalah memaafkan orang yang zalim kepadamu, memberi orang yang kikir kepadamu, dan (tetap) membantu orang yang berbuat salah kepadamu (Mutafaq Alaihi/Alhadist). Semua orang yang mengaku berada dijalan Kristus, berapa banyak yang mampu mengikuti sabda : tetapi Aku berkata kepadamu : janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu ( Matius 5 :39). Berapa banyak orang yang mengaku larut dalam kasih Buddha yang mampu menjalani : bila seseorang memiliki pikiran Cinta Kasih, ia merasa kasihan kepada semua makhluk di dunia, yang ada diatas, di bawah dan di sekelilingnya, tak terbatas di manapun ( Janaka,37). Jadi ketika semua agama mengajarkan tentang kebaikan, harus dipahami bahwa tak semua mampu menerapkan hal tersebut. Logika yang sama seharusnya dipakai, bahwa ketika ada penganut agama tertentu berbuat zalim, janganlah langsung menarik kesimpulan bahwa agamanya itu yang salah. Apalagi menjadikannya sebagai lelucon.

Aksi menjadi reaksi adalah hal yang semestinya selalu kita pegang. Berapa banyak dari kita yang senang beraksi, tapi lupa menunggu reaksi. Bentuk aksi reaksi ini mungkin paling gampang di nilai dari sosialisasi di media sosial. Ketika internet menjadi bagian tak terpisah dari hidup, lalu media sosial memberi kita “rumah” gratis untuk berekspresi, kita lupa bahwa rumah gratis itu adalah rumah tanpa pagar, yang dindingnya terbuat dari beton tembus pandang. Kenyataan ini yang kadang sebagian dari kita lupakan ketika memakai media sosial untuk curhat, nampang, marah-marah,menghujat,dan lain-lain. Banyak yang sengaja membikin status provokatif, lalu marah-marah ketika reaksi orang menanggapi statusnya tak sesuai harapan. Curhat tentang pekerjaan, tentang bosnya yang brengsek, tentang kehidupan cintanya yang mengenaskan, tapi tak sadar bahwa bagi orang lain itu tak lebih lelucon memalukan yang patutnya ditertawakan keras-keras, alih-alih di beri perhatian yang pantas. Sama tak masuk akalnya, ketika seorang perempuan mengekspos foto seksinya lalu jengkel hanya gara-gara seorang lelaki mengira dia murahan, dan kemudian menuduh semua lelaki di dunia ini brengsek. Juga lebih tak masuk akal ketika sebagai lelaki berotot mengobral foto telanjang dada lalu berharap semua semua orang bertanya tentang pola latihannya, dan marah-marah ketika ada yang mempertanyakan orientasi seksualnya.

Kita mesti pahami bahwa setiap setiap tindakan, perkataan, tulisan akan menimbulkan reaksi. Reaksi yang mungkin kadangakala dalam bentuk yang tidak kita harapkan. Ketika kita mencoba mengajak dunia tertawa dengan lelucon kita, kita harus tahu bahwa bisa jadi,diujung dunia sana,ada yang menangis pilu akibat lelucon kita. Tak semua orang bisa bersikap bijak, tak semua orang itu baik dan manis. Ada orang-orang tertentu yang memang sepertinya dilahirkan untuk menyakiti, yang tampaknya dilahirkan di sisi gelap bulan di angkasa sana, yang tak memiliki selera humor seperti yang kita harapkan. Kita mesti siap untuk menerima reaksi dari mereka. Kalau kata orang bugis “ aja mupuji macule-cule ko de na mupuji’i ri accule-culei (janganlah suka main-main kalau tak suka dipermainkan...).

Dan pada akhirnya kita akan pelan-pelan bersenandung "i started a joke..which started the whole world crying..but i did'nt see..that the joke was on me..."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun