Selalu ada yang baru dan atau berbeda tulisan mengenai
perempuan. Akan tetapi, kondisi dan model superioritas-
patriarkal masih membayangi perempuan.
Perempuan selalu menjadi 'objek' bagi ketidak-kuasaan negara dan penafsiran ajaran agama dalam memposisikan dan menyikapi perempuan. Hal itu tentu menjadi suatu momok tersendiri bagi hak-hak perempuan yang termarginalkan. Penderitaan perempuan tidak sampai di situ, ketika seorang suami meninggalkannya, perempuan pun menjadi tonggak anak/keluarganya. Dengan kondisi demikian, pemarginalan pun masih ditujukan kepada sang perempuan. Di daerah penulis, ketika seorang perempuan ditinggal suaminya, disebut janda, terdapat anggapan bahwa perempuan itu mudah untuk diajak 'selingkuh' seksual. Bahkan, ketika penulis berada dalam kendaraan umum, supir mobil itu ngobrol dengan seorang laki-laki di sampingnya perihal sesuatu yang 'menjelekkan' sang janda. Dengan demikian, perempuan masih terbelenggu dalam 'marginalisasi-
seksualitas-patriarkal'. Padahal, seorang perempuan
single parent (istri) merasakan tanggung jawab yang besar seperti halnya laki-laki (suami). Mereka harus 'memutar otak' untuk mengurusi masalah
domestik sekaligus masalah
publik. Oleh karena itu, perempuan harus kita hormati saat di wilayah domestik, dan kita sejajarkan dalam aspek sosial atau dalam wilayah publik. Caranya dengan memberikan pelatihan dan sosialisasi kepada perempuan-perempuan masyarakat 'bawah'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya