Mohon tunggu...
Ahmad Suhendra
Ahmad Suhendra Mohon Tunggu... Santri -

Lahir di Bogor, Pesantren di Bekasi, Kuliah di Yogyakarta dan Tinggal di Tangerang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Konspirasi The Art Of Covenant Dalam Novel

21 Oktober 2012   14:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:34 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KONSPIRASI THE ART OF COVENANT DALAM NOVEL

Judul:Tabut! (Ark of Covenant): Konspirasi di Bumi Masjid Al-Aqsha

Penulis:Zhaenal Fanani

Editor:Arini Hidajati

Penerbit:DIVA Press,

Cetakan:I, Mei 2011

Tebal:440 Halaman

ISBN:978-602-978-686-6

Simbol agama menjadi daya magnet tersendiri bagi beberapa penganut masing-masing agama tertentu. Semangat historis-religius yang diidentikkan pada simbol agama menjadi senjata ampuh untuk dibawa ke ranah idiologis-pragmatis. Beberapa agama menjadikan simbol-simbol agama sebagai truth claim dan penindasan atas agama lain. Kendati demikian, dalam teori simbol, simbol adalah suatu diagram yang mempu memancarkan suatu objek, walaupun objek itu sudah tidak menjadi realitas.

Salah satu simbol keagmaan yang masih kontroversial adalah Tabut (The Ark of Covenant). Jejak keberadaannya masih misterius dan belum dapat dipastikan sampai saat ini. Tidak ada jejak sejarah yang menunjukkan keberadaannya berupa artefak dan semacamnya.

Tabut (The Ark of Covenant) menjadi benda suci yang menakjubkan dan paling misterius. Terutama tentang keberadaannya yang memunculkan kontroversi. Dalam lintasan sejarah, The Ark of Covenant memiliki peran penting dalam setiap lini kehidupan kaum Yahudi. Seringkali benda suci itu berpindah tangan karena direbut dari kaum Bani Israil. Setelah melewati perjalanan yang berliku, Tabut kebanggaan kaum Yahudi itu hilang. Hingga saat ini keberadaannya masih kontroversi, kehilangannya seolah lenyap tertelan bumi.

Zhaenal Fanani mengajak kita untuk ikut menelusuri konspirasi keberadaan Tabut (The Ark of Covenant) yang hilang itu melalui novel. Kisah ini bermula dari kematian Dr. Isacc yang menimbulkan tanda tanya besar bagi internal negara Israel. Berita kematian sang ilmuwan sekaligus arkeolog Israel mengguncang keamanan Israel, karena berita itu tersebar ke seluruh dunia.

Polisi keamanan Israel menemukan sepucuk kertas, yang bertuliskan nama “Prof. Syibil Balqizh” dan “Hans Dietrich Sammer” di atas jasad Dr. Isacc. Dari tragedi itulah, banyak persoalan dan keganjilan menimpa Prof. Syibil. Wartawan Aljazeera, Truman Ottara, yang menyebarkan berita rahasia itu juga ikut terjebak dalam permainan konspirasi.

Prof. Syibil Balqizh sering mengisi seminar-seminar dari satu universitas ke universitas lain, dari satu negara ke negara lain. Tour-intelektualnya ini terkait dengan penelitiannya tentang mitologi keberadaan The Ark of Covenant.

Kedatangan perempuan berusia pertengahan tiga puluh tahunan di Yerussalem merupakan salah satu agenda kerja akademisnya. Mengisi seminar-seminat terkait penelitiannya dan mengunjungi beberapa tempat, di antaranya Masjid al-Aqsha dan Art Museum di Tel Aviv. Namun, kunjungannya ke Art Museum harus dibatalkan, karena acara mendadak untuk mengisi seminar terkait The Ark of Covenant di Hebrew University. Dalam ceramah ilmiahnya, Prof. Syibil mengatakan,

“Sejarah adalah literatur yang hidup dan akan terus bernapas sepanjang zaman. Menorah, The Ark of Covenant, juga Solomon Temple adalah fakta sejarah. Ketiganya adalah detak yang akan terus mengalir. Ketiganya adalah miniatur dari kebenaran berserta kekuatannya. Terlepas dari kontroversi di mana keberadaannya, ketiganya merupakan semangat menuju kebenaran. Maka, jika ketiganya tidak ditemukan atau belum dibangun kembali, bukan berarti semangatnya akan hilang. Semangat itu akan tetap menyala, karena ia adalah spiritualisme. Semangat entitas ruhani. Semangat menuju ketiadaan hingga yang ada hanya Tuhan (hal. 30).”

Saat Prof. Syibil sedang mempersiapkan keberangkatannya ke London, secara tiba-tiba handphone-nya berdering. Penelpon itu pun meminta sang prof. cantik untuk mengikuti semua intruksinya dengan sebuah ancaman akan melaporkan keterkaitannya dalam pembunuhan Dr. Isacc.

Penelpon misterius itu meminta untuk membantu dalam menguak keberadaan The Ark of Covenant. Beberapa kali Prof. Syibil ingin ‘berontak’ dari ancaman dan instruksi yang dilancarkan. Tetapi, setiap perempuan yang memiliki rambut sebahu itu melayangkan penolakan, sebanyak itu juga dia gagal. Bahkan, dia harus berurusan dengan kepala badan penyelidik Internasional Israel.

Selain dapat melumpuhkan Dr. Issacc, tokoh misterius dalam novel ini juga dapat menyulik Syekh Abu Zarman. Syekh Abu Zarman merupakan tokoh aktivis pergerakan intifada yang keberadaannya misterius. (hal. 91). Untuk menghilangkan sepak terjang selalu menyamar dan mengganti namanya dengan Ghulam Shadev, Ezar Yehuda dan lain-lain. Dia juga menahan Kardinal Bogart Simon, Kepala Gereja Pantheon, Roma dengan menyebut dirinya sebagai Signor Gianluca Paglini.

Semua yang melalukan teror dan konspirasi yang sangat memakan waktu ini ternyata seorang perempuan. Dia bernama Balerina Macdaz. Balerina merupakan anak tunggal dari pasangan Hilmak Abram, seorang konglomerat media keturunan Yahudi, dan Sabrina Elovy, seorang Yahudi Diaspora.

Kedua orang tuanya mengalami kecelakaan ketika usianya lima belas tahun. Sebagai keturunan kaum Lewi, Balerina Macdaz merasa berhak untuk mendapatkan The Ark of Covenant. Di usianya yang cukup muda, enam belas tahun, dia berani memutuskan dan mengambil langkah berani. Ia ingin sejajar dengan para leluluhurnya menjadi Kabbalis.

Dengan membaca novel ini, kita akan mengerti bagaimana memahami nilai-nilai substantif dari simbol-simbol agama. Kita juga diajak untuk memahami setiap ajaran agama itu mengandung makna cinta kepada Tuhan, dan cinta pada aspek, meminjam istilah penulis novel ini, globalisasi perdamaian.

Kisah-kisah masa lalu tidak hanya meninggalkan ingatan kognitif, tetapi juga efek goresan yang beragam. Namun, itu hanyalah masa lalu, simbol-simbol kejayaan masa lalu belum tentu sesuai dan relevan dengan masa sekarang. Kita perlu merealisasikan semangat religiusitas yang terkandung dalam simbol itu dalam kehidupan beragama dan bernegara.

*)Peresensi adalah Ahmad Suhendra, mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun