Kemarin saya membaca berita melalui media internet dari website Okezone.com. Judul berita tersebut "Agus Akui Disuruh Margaret Bunuh Angeline" (Sabtu, 13/06/2015). Ya pemberitaan tersebut mengenai kasus pembunuhan seorang gadis kecil bernama Angeline di Denpasar, Bali yang santer beberapa waktu belakangan ini. Angeline (8) yang dikabarkan hilang oleh ibu angkatnya pada tanggal 16 Mei 2015 lalu akhirnya ditemukan dalam keadaan tewas pada tanggal 10 Juni 2015 di belakang rumahnya jalan Sedap Malam, Sanur, Denpasar, Bali.
Setelah penemuan tersebut, segala tuduhan dan dugaan masyarakat mengalir kepada pihak keluarga, dan belakangan pembantunya sendiri telah ditetapkan oleh kepolisian sebagai tersangka. Tuduhan dan dugaan dari masyarakat tersebut memang sangat wajar mengingat banyaknya kontradiksi yang tercium dalam peristiwa ini. Peristiwa yang pada awalnya merupakan kasus orang hilang, dalam rentang waktu pencarian terlihat kecurigaan-kecurigaan dari sikap dan tindakan keluarga, baik itu kepada petugas maupun pihak-pihak yang mempunyai wewenang atas ini atau juga yang merasa peduli akan nasib Angeline.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa pihak keluarga mempersulit petugas dalam melakukan penyelidikan demi untuk mencari korban di tempat awal kejadian atau tempat yang diduga Angeline terakhir kali terlihat, yaitu di depan rumahnya sendiri di kawasan Jalan Sedap Malam, Sanur, Denpasar. Bukan hanya itu, ada juga kabar yang beredar bahwa pihak keluarga mengusir atau tidak mempersilakan dua orang menteri untuk masuk ke dalam rumahnya yang ingin menyampaikan rasa belasungkawa. Sifat tertutup yang ditunjukkan keluarga Angeline ini menyiratkan tidak adanya kerja sama yang baik dalam membantu polisi untuk menjalankan tugasnya, karena pada dasarnya informasi dari pelapor merupakan modal awal polisi untuk memulai penyelidikan. Hal-hal tersebutlah yang membuat segala tuduhan dan dugaan mengalir kepada pihak keluarga.
Setelah penemuan mayat Angeline pada tanggal 10 Juni 2015 lalu dan polisi akhirnya menetapkan Agus yang merupakan pembantu di kediaman Angeline sebagai tersangka, kepolisian terus berusaha mengembangkan kasus ini dengan mengadakan penyidikan. Hingga akhirnya pada tanggal 13 Juni 2015 melalui berita yang penulis tinjau dikabarkan bahwa Agus dalam penyidikan telah mengakui perbuatannya sebagai pembunuh yang disuruh oleh majikannya sendiri Margaretha orang tua angkat Angeline.
Namun, ada keganjilan dalam proses penyidikan tersebut di mana tersangka diinterogasi dalam ruang pemeriksaan bukan oleh pihak penyidik tapi oleh kalangan yang bahkan bukan juga seorang pegawai negeri sipil yang disebutkan dalam pasal 6 KUHAP. Sebagaimana yang penulis lansir dari Okezone.com “Pengakuan Agus tersebut diungkapkan Akbar Faisal anggota DPR RI Fraksi Hanura saat menemui tersangka di Mapolresta Denpasar, Sabtu (13/6/2015).”
Kita tahu bahwa Senator dalam hal ini Anggota DPR RI bukanlah merupakan pegawai negeri sipil, tetapi adalah seorang pejabat kenegaraan yang artinya aturan yang mengatur tentang kedudukan anggota dewan bukanlah aturan yang mengatur masalah kepegawaian. Ia diatur dalam UU tersendiri, yaitu UU MD3 (UU No. 17/2014). Selain itu, semua yang disebut dalam konstitusi adalah merupakan lembaga negara dan yang menjalankan lembaga tersebut merupakan pejabat negara, hal ini ditegaskan dalam Pasal 68 UU No. 17/2014 tentang Susduk MD3 bahwa “DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.” Kemudian dalam pasal 69 ayat (1) disebutkan bahwa “DPR mempunyai fungsi: legislasi, anggaran, dan pengawasan”, kemudian ayat (2) “Ketiga fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat, dan juga untuk mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Apa yang disebutkan sebagai kerangka representasi rakyat ialah kewenangan DPR dalam lingkup kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Mengamati pasal demi pasal dalam UU MD3 dan juga KUHAP tak satu pun pasal yang menyebutkan bahwa anggota dewan memiliki wewenang dalam melakukan penyidikan terhadap tersangka dalam lingkup kewenangan instansi kepolisian atau hukum publik, kecuali dalam hal pemakzulan presiden, DPR memiliki fungsi yang bisa dikatakan mirip dengan penyelidik/penyidik sekaligus penuntut dalam ruang lingkup pidana umum. Namun yang membedakannya di sini ialah jika menyangkut pada pemakzulan sudah barang tentu sedikit banyaknya akan mengandung unsur-unsur politik, tidak bisa tidak karena yang diperseterukan di sini adalah mengenai hal yang sangat instan dengan penyelenggaraan negara.
Di dalam KUHAP pasal 6 ayat (1) disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Kemudian yang dimaksud dengan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan tugas penyidikan ialah seperti pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi, dan juga pejabat kehutanan.
Maka sudah jelas dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP tidak ada menyebutkan bahwa anggota DPR adalah seorang penyidik atau memiliki tugas penyidikan dalam lingkup hukum pidana umum. Apa yang dilakukan oleh Akbar Faisal yang merupakan anggota DPR RI Fraksi Hanura melakukan interogasi atau pemeriksaan terhadap tersangka dalam ruang pemeriksaan penyidik sudah menyalahi aturan maupun prosedur beracara, bahkan beliau menyampaikan hasil dari pemeriksaan tersebut ke depan publik yang sangat jelas telah melanggar asas inkwisitor yang merupakan salah satu pedoman dalam tahap pemeriksaan pendahuluan pada suatu perkara. Asas inkwisitor beranggapan bahwa tersangka hanyalah merupakan objek pemeriksaan, dan segala tindakan yang dilakukan dalam keadaan tidak terbuka untuk umum. Apa yang telah dilakukan oleh Akbar Faisal sangat rentan untuk mendapat anggapan bahwa itu merupakan campur tangan politik terhadap lembaga yudikatif yang seharusnya bersifat independen. Lembaga legislatif dan eksekutif tidak boleh mencampuri kewenangan dari lembaga yudikatif sebagai mana ajaran yang telah dikemukakan oleh Montesqiu. Jadi apa yang dilakukan oleh Akbar Faisal tersebut apabila dibiarkan maka cepat atau lambat akan menjadi preseden yang buruk dalam cetak merah sistem peradilan kita.
Kemudian penulis sangat berharap dalam jalannya kasus ini agar tidak dimaanfaatkan oleh pihak di luar struktur penegak hukum seperti politisi untuk dijadikan sebagai bahan pencitraan, apalagi jika diperhatikan momennya sangat tepat dengan akan diadakan pemilihan kepala daerah. Sangat tidak manusiawi jika harus menarik simpati orang banyak di atas penderitaan orang lain, hal itu merupakan perbuatan yang munafik, dan mencerminkan keterpurukan mental politisi bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H