Mohon tunggu...
Ahmadsaleh
Ahmadsaleh Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Putusan MK No.90/PPU-XXI/2023 Terhadap Warna Perpolitikan Indonesia

20 November 2023   00:16 Diperbarui: 20 November 2023   00:29 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mahkamah konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji materil pasal 169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 tentang pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) di ruang Sidang Pleno, gedung MK, Jakarta, senin (16/10/23). Seperti halnya pasal yang digugat mengenai batas usia minimal capres dan cawapres.

Atas putusan MK perihal Pasal 169 huruf q pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang dipersoalkan oleh PSI akan tetap berlaku. Pasal ini menentukan bahwa capres dan cawapres harus berusia setidaknya 40 tahun. "Dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," Sebab sebagaimana diutarakan Hakim Saldi Isra, kalaupun syarat umur itu diturunkan menjadi 35 tahun, syarat tersebut akan tetap menimbulkan persoalan.

Sebuah pasal yang memuat batas usia minimal tapi membuka peluang untuk mengabaikan batasan tersebut dengan aturan lain berpotensi memicu kontradiksi hukum. Melarang sekaligus membolehkan yang seseorang di bawah 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres sepanjang yang bersangkutan adalah atau pernah menjabat sebagai pejabat negara memicu kontradiksi. Sifat kontradiktif akan memicu kebingungan dan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.

Sejumlah pakar hukum tata negara menilai MK tidak semestinya mengabulkan permohonan tersebut. Mereka merujuk prinsip kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang selama ini telah dijalankan MK dalam berbagai perkara pengujian undang-undang sebelumnya. Apabila putusan tersebut di kabulkan akan timbulnya konflik kepentingan, dengan adanya konflik kepentingan maka dapat dikatakan hal tersebut akan menimbulkan oligarki politik. Sebab Oligarki merupakan bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh beberapa orang, namun untuk kepentingan beberapa orang tersebut (dalam ranah negatif). Hampir senada dengan itu, menurut Aristoteles, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok cendekiawan demi kepentingan kelompoknya.


Gurita oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokratisasi. Fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah kepada pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah.

Mengutip pengamat politik Airlangga pribadi Kusman yang amat menyarankan kepada putusan MK agar lebih bersikap hati-hati dan bijaksana dalam mengambil putusan perkara ini, karna menurut Kusman pengajuan pemohon ini sangatlah beterkaitan dengan kepentingan politik partai untuk memajukan nama Gibran Rakabuming yang disebut akan menjadi bakal cawapres pada pilpres 2024.

Untuk menyikapi persoalan ini airlangga berharap MK dapat mempertimbangkan posisinya sebagai guardian of constitution atau pelindung utama konstitusi. Menurutnya jika MK mengabulkan gugatan tersebut dapat dianggap menjadi instrument politik dari kekuasaan, terlebih Gibran merupakan anak dari presiden Jokowi.

Kemudian terkait putusan MK mengenai batas usia capres serta cawapres, publik menilai nuansa politis lebih dominan dibandingkan terhadap putusan MK melakukan harmonisasi undang-undang (UU) yang ada. Konsistensi dengan konsitusi, maka hasil yang didapatkan tidak benar karena bukan wewenang dari MK membuat putusan harmonisasi dari UU pemilu.

MK bukanlah lembaga pembuat hukum, melainkan sebagai verifikator ada tidaknya penyimpangan UU terhadap UUD. MK menambah memperluas kecakapan bertindak sebagai capres dan cawapres pengalaman sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu. Jika menilai ketiga hal tersebut (materi putusan, proses penanganan perkara dan nepotisme putra presiden), polemik ini bisa diselesaikan dengan pengaturan lebih detail soal nepotisme.

Untuk penyempurnaan demokrasi, maka diperlukan pembaharuan detail untuk pemberantasan nepotisme sebagaimana amanat reformasi. Seperti halnya, pembatasan jabatan ketua umum partai maksimal dua periode, masa keanggotaan DPR/MPR dua periode. Larangan bagi keluarga pejabat aktif (hingga derajad ketiga) untuk memasuki institusi publik yang dikhawatirkan bisa memicu personal. Begitu juga dengan pengaturan-pengaturan anti nepotisme yang sejenis perlu disempurnakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun