Sesungguhnya telah cukup lama muncul gagasan penerapan restorative justice atau sekarang lazim diterjemahkan sebagai keadilan restoratif. Banyak ahli hukum dan aktivis perlindungan anak yang melakukan kajian-kajian keadilan restoratif, tetapi karena belum ada satu Negara pun di dunia yang mempraktekkan secara utuh, ditambah dengan dominannya model non-restoratif maka beberapa pihak menamakan model ini sebagai sesuatu yang baru.
Adapun model Restorative justice dalam RUU Peradilan anak secara umum sudah muncul kehendak dari banyak pihak untuk mengubah sistem peradilan anak di Indonesia. Kosa kata restorative justice sudah lazim muncul dalam setiap pembahasan anak yang berhadapan dengan hukum.Â
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM RI telah cukup lama melakukan kajian model peradilan anak. Implementasi dari wacana tersebut adalah rencana pemerintah untuk menyusun RUU Peradilan Anak, sekaligus mengganti UU pengadilan Anak, yang dirasakan sebagai banyak kekurangannya. RUU ini saya ketahui sudah berulang kali dilakukan revisi sebelum maju ke DPR RI.
Gagasan praktik keadilan restoratif yang semula berangkat dari kajian-kajian akademis dan wacana para aktivis, akhirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadikan model ini sebagai pedoman dalam penanganan kejahatan dalam Basic principles on the use of restorative justice programmes in criminal matters pada tahun 2000. Di dalam Basic Prinsiples ini, antara lain dinyatakan bahwa "Restorative justice programmes may be used at any stage of the criminal system, subject to national law.
Menurut PBB program keadilan restoratif adalah program apapun yang menggunakan proses restoratif dengan sasaran untuk mencapai hasil yang diinginkan. Bertujuan memulihkan kedamaian dan hubungan yang rusak melalui celaan terhadap perilaku jahat dan menguatkan nilai-nilai yang hidup dalam komunitas. Para korban diperhatikan kebutuhannya dan para pelaku didorong untuk bertanggung jawab.
Model keadilan Restoratif lebih pada upaya pemulihan hubungan antara pelaku dan korban. Misalnya seorang murid mencuri buku seorang Profesor, proses keadilannya adalah bagaimana cara dan langkah apa agar persoalan bisa selesai sehingga hubungan baik antara murid tersebut dengan professor berlangsung seperti semula tanpa ada yang dirugikan.Â
Dalam keadilan retributif, masyarakat tidak dilibatkan, karena sudah diwakilkan pada pengacara, sementara dalam keadilan restoratif masyarakat dilibatkan melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kewibawaan dalam lingkungan tersebut, tokoh agama, orang berpengaruh, dan sebagainya.
Oleh sebab itu pengembangan kapasitas bukan polisi, jaksa, dan hakim saja, tetapi masyarakatlah yang harus memperolehnya. Yang pertama lekat dengan nilai-nilai indivdualistik, kompetisi pelaku dan lawan, sehingga ada proses tahapan banding dan kasasi dalam proses peradilannya, tetapi pada yang kedua semua pihak diajak kerjasama untuk menyelesaikan persoalan.Â
Yang kedua pelaku hanya obyek, bahkan tidak diakui keberadaannya, yang aktif hanya pengacara, sedangkan yang kedua pelaku maupun korban sama-sama aktif diberi peran untuk menyelesaikan persoalan yang muncul.
Eva Achjani Zulva dalam disertasi doktornya misalnya, menganggap bahwa pendekatan keadilan restoratif merupakan pendekatan baru dalam upaya penyelesaian perkara pidana yang mengemuka dalam kurun 30 tahun terakhir ini, yang baru diberlakukan di negara kita pada tahun 1977.Â
Hal ini dikarenakan, keadilan restoratif dalam praktiknya berbeda dengan sistem yang sekarang ada, karena pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Dari banyak kajian dan pengalaman lapangan dalam dunia hukum menangani anak yang berhadapan dengan hukum, dapatlah dikemukakan pendapat final bahwa paradigma lama tentang peradilan anak di Indonesia tidak bisa dipertahankan lagi karena yang terjadi adalah sebuah proses kriminalisasi anak oleh Negara dan masyarakat.Â
Maka sudah saatnya, negara dalam hal ini pemerintah haruslah mengembangkan paradigma baru, yakni paradigma dekriminalisasi anak. Paradigma yang mengharuskan suatu tindakan untuk pembebasan anak dari segala perspektif pidana, sejak pemeriksaan, penyelidikan, penyidikan sampai penyangkaan terhadap anak.Â
Pemerintah harus berani berkata segera mengakhiri paradigma kriminalisasi anak tersebut yang sangat jelas sebagai tindakan pembunuhan masa depan anak yang berhadapan dan atau berkonflik dengan hukum.
Paradigma peradilan anak harus berdasarkan perspektif perlindungan anak. Dalam perlindungan anak dikenal 4 prinsip dasar, yaitu: non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, penghargaan terhadap pendapat anak.Â
Dengan demikian, dalam perspektif perlindungan anak, tidak ada pemidanaan terhadap anak dan tidak ada penjara bagi anak. Apapun alasannya, seperti apapun tindakan yang dilakukan oleh anak. proses pemidanaan, apalagi pemenjaraan, hanya untuk orang dewasa sebagaimana amanat KUHP pasal 45.
Jeff Christian, seorang pakar lembaga pemasyarakatan internasional dari Kanada mengemukakan bahwa sesungguhnya peradilan restoratif telah dipraktikkan oleh banyak masyarakat sejak ribuan tahun yang lalu jauh sebelum lahir hukum Negara yang formalistik seperti sekarang ini, yang kemudian disebut sebagai hukum modern.Â
Menurutnya restorative justice adalah sebuah penanganan tindak pidana yang tidak hanya dilihat dari kacamata hukum semata, tetapi juga dikaitkan dengan aspek-aspek moral, sosial, ekonomi, agama, dan adat-istiadat lokal, serta berbagai pertimbangan lainnya.Â
Adapaun dalam masyarakat Inggris lama, sebelum hukum Negara berlaku, yang digunakan adalah hukum restoratif. Kanada sebagai bekas negara jajahan Inggris juga memiliki warisan paradigma keadilan restoratif. Hal yang sama berlaku di Australia, Selandia Baru, bahkan Amerika sendiri memiliki mekanisme untuk mempraktekkan keadilan restoratif.
Hellen Cowie dan Dawn Jeniffer mengidentifikasikan aspek-aspek utama keadilan restorative sebagai berikut:
1. Perbaikan, bukanlah tentang memperoleh kemenangan, atau menerima kekalahan, tudingan atau pembalasan dendam namun tentang Keadilan dengan huruf K besar.
2. Pemulihan hubungan, bukan bersifat hukuman para pelaku kriminal memikul tanggung jawab atas kekeliruan dan memperbaikinya dengan sejumlah cara. Melalui proses komunikasi yang terbuka dan langsung, antara korban dan pelaku kriminal, ia berpotensi untuk mengubah cara berhubungan satu sama lain.
3. Reintegrasi, pada tingkatnya yang terluas, memberikan arena di mana anak dan orang tua dapat memperoleh proses yang adil. Maksudnya agar mereka belajar tentang konsekuensi kekerasan dan kriminalitas serta memahami dampak dari perilaku terhadap orang lain.
Oleh karenanya, bila semangat kita adalah semangat melindungi anak, semangat menyelamatkan anak, maka tidak boleh ada pemenjaraan terhadap anak di negeri ini apa pun alasannya.Â
Anak-anak penghuni penjara harus dikembalikan kepada orang tuanya, atau ke masyarakat untuk memperoleh tempat yang lebih layak.Â
Kementerian Hukum dan HAM harus mendelete rencana strategis lima tahun ke depan yang saya baca, pada program Ditjen Kemasyarakatan akan membangun Lapas Anak di semua Propinsi. Saya katakan, itu bukan membangun tetapi menghancurkan anak Indonesia. Yang harus dilakukan sekarang adalah menutup Lapas Anak, bukan malahan menambah Lapas Anak. Semakin ditambah lapas anak, dapat dipastikan akan semakin banyak anak dikriminalisasi, semakin banyak para penegak hukum beralasan untuk menjebloskan anak ke dalam Lapas. Saatnya kita memasuki era prison abolition bagi anak yang berkonflik dengan hukum.
Model keadilan restoratif sejati tidak mengenal pidana dan pemenjaraan terhadap anak. Penjara bukan tempat untuk anak. Penjara hanya tempat yang layak untuk para penjahat (orang-orang dewasa). Tempat yang layak untuk anak adalah rumah dan sekolah di mana ia belajar dan bersosialisasi, menjalani kehidupan wajar bersama teman sebaya dalam lindungan orang tuanya.
Dari uraian di atas kiranya menjadi jelas tentang kelebihan model keadilan restoratif justice dalam peradilan anak di Indonesia. Namun jalan menuju ke sana memang tidak mudah karena menyangkut perspektif sistem peradilan itu sendiri. Maka yang pertama sekali harus dilakukan adalah membangunkan hasrat untuk mengubah paradigma yang ada dengan paradigma baru yang lebih beradab atau komitmen untuk melindungi anak dari kekerasan dalam proses peradilan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H