Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Alumni UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ulasan buku "Tabot Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu"

28 Agustus 2020   11:13 Diperbarui: 28 Agustus 2020   11:20 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya saya tuntaskan baca buku "Tabot: Jejak Cinta Keluarga Nabi di Bengkulu". Ditulis oleh Dr Harapandi Dahri. Buku ini fokus uraiannya pada tabot, asyura, dan tradisi masyarakat Bengkulu.

Tabot atau tabut memang menjadi tradisi tahunan warga Bengkulu. Awalnya dikenalkan oleh kaum Sipai dari India, yaitu tentara Inggris yang ditugaskan di Bengkulu. Kaum Sipai ini beberapa di antaranya Muslim yang menganut aliran Syiah. Sudah mafhum bahwa setiap 10 Muharram memperingati tragedi Al-Husain di Karbala. Mereka saat tiba Muharram melakukan tradisi Asyura berupa berkabung atas wafatnya cucu Rasulullah Saw. Namun, mereka menyesuaikan dengan kondisi dan kreativitas masyarakat Muslim setempat. Sehingga terwujudlah acara tabot berupa usungan keranda dengan umbul dan hiasan yang mempercantik tabot tersebut.

Dalam buku Tabot ini, halaman 98, diterangkan asal mula yang menyelenggarakan tabot di Bengkulu adalah Maulana Ichsad tahun 1336. Diteruskan oleh Bakar dan Imam Sabari kemudian dilanjutkan oleh Syechbedan. Ia merupakan putra dari Syekh Burhanudin yang terkenal dengan sebutan Imam Senggolo, seorang penyebar Islam di Bengkulu. Makam tokoh inilah yang sering diziarahi manakala jelang hari pertama bulan muharram. Dari sungai dekat makam ini mengambil tanah untuk dimasukkan dalam tabot dan disimpan bersama benda pusaka warisan dari Imam Senggolo.

Dalam buku yang tebalnya 162 halaman ini cukup detail memaparkan persiapan, proses, dan acara-acara yang terhubung dengan hari 10 Muharram. Pada hari kesepuluh ini puncak dari kegiatan tabot yang diakhiri dengan doa dan ziarah pada makam leluhur.

Yang unik bahwa daerah tokoh penyebar Islam di Bengkulu ada masjid bernama Karbala dan lapang tempat berkumpul pun disebut padang Karbala. Tentu ini yang memberi nama pasti punya keterikatan spiritual dan cinta dengan sosok Al-Husain yang gugur di Karbala.

Secara umum buku ini mengupas sedikt tentang Syiah dan pengaruhnya dalam kebudayaan. Memuat juga teori sebaran aliran Syiah ke Indonesia meliputi tiga gelombang: kultural, intelektual, dan fikih. Gelombang terakhir ini kerap membuat situasi hubungan sesama Muslim renggang karena menitikberatkan pada urusan ibadah ritual. Sekarang ini Muslim Syiah disinyalir masuk gelombang fikih berupa keinginan menampakkan diri sebagai Muslim yang berbeda dari Muslim lainnya.

Kalau ditanya: apakah masyarakat Bengkulu yang melakukan tradisi tabot dari 1-10 Muharram adalah muslimin Syiah? Amat sulit dilacak aspek kesyiahannya. Jika ukurannya fikih dan teologi maka jumlahnya sangat kecil. Kalau ukurannya cinta Rasulullah saw dan Ahlulbait maka sulit untuk diidentifikasi karena tabot kini menjadi bagian dari wisata tahunan khas Bengkulu. Begitu pun di Padang Pariaman, hoyak tabuk hosen menjadi bagian wisata tahunan. Yang jelas unsur Syiah dalam penyelenggaraan tabot adalah momentum harinya, yaitu dari tanggal 1-10 Muharram dan pemakaian kaligrafi Hasan dan Husen. Dua nama cucu Rasulullah Saw ini dalam mazhab Syiah diakui sebagai Imam yang layak dijaga dan dimuliakan. Satu di antaranya berbentuk peringatan duka cita (kabung) yang disebut Asyura. Ini dilakukan pengikut Muslim Syiah di seluruh dunia, bahkan Muslim Sunni menyelenggarakannya berbentuk sedekah bubur suro, ziarah ke makam leluhur, dan lainnya.

Dan saya setuju budaya tabot bagian dari proses akulturasi yang terus dipelihara sebagai identitas kultural masyarakat Muslim Bengkulu. Tidak mudah dianggap sebagai representasi dari kalangan Muslim Syiah karena sudah menjadi bagian dari khazanah budaya Nusantara.

Tabot dan aneka kegiatan budaya di bulan Muharram (utamanya tanggal 10 Muharram) seperti Hoyak Tabuik Husain di Padang Pariaman, Asyura di Makassar berupa sajian bubur sembilan atau tujuh warna dan suguhan sokko (nasi ketan) bersama loka tira (pisang raja), bubur suro di Aceh dan Banten, sedekah sambil mengusap kepala anak yatim di Jawa Barat pada hari asyura merupakan khazanah budaya Islam di Nusantara. Saya kira sangat kecil unsur doktrin mazhab Syiah pada sejumlah tradisi Asyura tersebut. Entahlah. Barangkali ada riset baru tentang hakikat dibalik kegiatan Asyura di Nusantara? Mohon kabari ya. Cag! *** (Ahmad Sahidin)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun