Kemarin saya tidak membaca buku. Meski tidak membaca buku, saya bersyukur dapat pengetahuan dari orang-orang yang tengah ngobrol tentang Al-Quran di warung kopi.
Bisa dimaklumi obrolan yang berujung adu argumentasi, karena yang berkumpul adalah para guru agama dari sekolah tingkat SMP se-Bandung.
Mereka berkumpul karena ada kegiatan lomba keagamaan. Â Saya tidak sengaja saat ingin minum kopi dan asyik dengar diskusi tentang Al-Quran.
Saya kira soal agama menarik sebagai bahan diskusi. Apalagi di kalangan guru agama, sangat tampak benturan pendapat dan cara pandang.
Dalam obrolan, ada seorang Bapak yang menurut saya cukup menarik pembicaraannya bahwa kita seringkali menamatkan al-Quran sebagai khatam, tetapi hanya pada teks Arab semata. Tidak khatam pada terjemah Al-Qur'an.
Menurut Bapak itu, harusnya terjemah pun dikhatamkan sehingga ketika dibaca akan "menempel" pada memori kita. Bahkan untaian ayat akan mengena dengan suasana hati sehingga mampu membuat menangis dan menyadarkan keberadaan kita di hadapan Tuhan.
Saya tidak tertarik untuk masuk pada obrolan. Saya membenarkan bahwa memang untuk orang Islam Indonesia sangat perlu membaca teks Al-Qur'an dengan terjemah yang resmi dari kementerian agama.Â
Kemudian dilanjutkan dengan membaca buku-buku Tafsir Al-Quran dan pemahaman para ulama terdahulu maupun yang kontemporer. Ini saya kira perlu. Bahkan masuk dalam kelas Al-Qur'an akan lebih baik untuk meningkatkan kecakapan dalam Al-Qur'an.
Membaca Alquran, memahami, dan menerapkan isi dari Al-Qur'an akan dapat hidup lebih baik dari sisi spiritual. Aspek ini kadang tidak menjadi perhatian umat manusia. Â *** (Ahmad Sahidin)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI