Yang menarik dari uraian buku tersebut adalah ada kerajaan pertama di Indonesia sebelum Perlak, yaitu Jeumpa. Ini menarik ditelusuri dan memang belum ada yang serius menekuninya. Maklum sumber yang terkait dengan sejarah Islam di Indonesia masih berupa memori kolektif berupa dongeng atau tradisi lisan, dan jejak berupa kuburan yang sulit diverifikasi dari segi waktu.
Apa yang saya dapatkan dari buku “Menguak Akar Spiritualitas Islam Indonesia: Peran Ahlulbait dalam Penyebaran Islam di Nusantara”? Hanya sebuah kesan historis bahwa Islam mazhab Syiah sudah hadir sebelum penganut Sufi dan Sunni masuk dan berkembang di Indonesia. Jika ya, untuk apa? Untuk mengubah penulisan sejarah? Untuk memahamkan pada umat Islam sekarang bahwa kaum Syiah punya andil dalam khazanah kebudayaan Nusantara. Jika sudah demikian, lantas mau apa? Inilah salah masalah dalam riset ilmiah tentang sejarah bahwa hanya sekadar romantisme historis dan alat pembenar saja.
Puasa Ramadhan
Buku ketiga yang beres dibaca berjudul “Puasa Ramadhan: Sebuah Perjalanan Spiritual” ditulis oleh Mirza Javad Agha Maliki Tabrizi. Buku ini terbit tahun 2003. Cukup lama dan isinya tidak kedaluarsa. Secara singkat isi bukunya menguraikan adab-adab dalam doa, etika membaca Quran, pemahaman tentang puasa Ramadhan, serta panduan untuk mengawali dan mengakhiri bulan suci Ramadhan. Petunjuknya tidak fiqhi, tetapi bernuansa sufisitik. Jadi, dalam buku aspek batin lebih ditekankan dalam ibadah puasa dengan tujuan mencapai maqam taqwa.
Etika Ukhuwah
Dan ini yang keempat. Ditulis oleh Sayyid Muhammad Husein Fadhulullah dengan judul “Etika Ukhuwah”. Buku ini terjemahan juga. Meski ada kata dan kalimat yang rancu saat dibaca, tetapi secara umum sesuai dengan judulnya hendak menguatkan keperibadian umat Islam, terutama generasi muda dalam persaudaraan, persahabatan, dan pergaulan keseharian. Seperti karya Mizra Javad, Sayyid Fadhulullah memberikan panduan untuk generasi muda dalam menjalani aktivitas dengan kupasan ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah saw serta keluarganya.
Bahkan disajikan rangkaian tanya jawab tentang persahabatan dan persaudaraan. Salah satu uraian yang menjadi tanya jawab antara jamaah dengan Sayyid Fadhlullah adalah tentang pilihan marja taqlid yang memutuskan hubungan pertemanan. Kerap kali hanya karena beda marja taqlid kemudian terjadi kerenggangan dalam interaksi dengan teman. Karena beda ulama yang rujuk sehingga tidak mau lagi berteman. Bagi Sayyid Fadhlullah bahwa yang demikian tidak produktif dan tidak maslahat sehingga untuk pertemanan dan persauadraan jangan didasarkan pada marja, tetapi kualitas akhlak.
Tah ngan sakitu anu tiasa dibagikeun. Punten sanes lauk buruk milu mijah. Ieu mah tawis ngahirupkeun budaya literasi. Apanan dina literasi mah kedah seueur maosan buku sareng nyerat. Tah, bahan kanggo nyerat tangtos tina buku-buku anu diaos. Salain tina pengalaman nyalira jeung kahirupan batur. Anggap bae ieu mah tawis heuheureuyan hungkul. Pidu’ana bade neraskeun maos buku. Hatur nuhun ka sadaya anu parantos kersa maos ieu seratan simkuring… [ahmad sahidin]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H