Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... -

setiap kebaikan akan berbalas kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jurnalistik: Menjadi Intelektual Publik

2 Desember 2013   14:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:25 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BEBERAPA waktu lalu, kawan saya meminta untuk mengisi diskusi jurnalistik di sebuah lembaga kajian di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Entah dasar apa saya menyanggupinya. Setelah dipikir-pikir: apakah saya bisa memberikan pencerahan tentang jurnalistik. Saya bingung harus menyampaikan apa?

Dalam kebingungan itu saya mengingat-ingat lagi materi-materi (kuliah) jurnalistik yang pernah saya dapatkan di pelatihan menulis dan saat dulu kuliah di UIN Bandung. Dari proses mengingat itu, yang muncul dibenak bahwa jurnalistik merupakan sebuah aktivitas intelektual. Yakni kegiatan manusia yang bertumpu pada kekuatan nalar dan keahlian dalam menyampaikan kepada publik. Mereka yang bergelut dalam dunia ini biasanya disebut intelektual publik.

Apa itu intelektual publik? Jurnalis Budhiana Kartawijaya mendefinisikan intelektual publik adalah mereka yang memiliki pengetahuan dan otoritas tentang berbagai macam isu aktual secara mendalam serta memiliki kemampuan menyampaikannya kepada publik. Tidak hanya jurnalis yang bisa disebut intelektual publik, tapi orang yang non-jurnalis pun dapat menyandangnya. Mereka yang berprofesi sebagai ustadz, pendeta, guru, konsultan, konseptor, analis, dosen, trainer, editor, dan mahasiswa pun bisa menjadi intelektual.

Dalam media massa, khususnya koran dan majalah, para intelektual publik ini seringkali mengisi rubrik opini atau kolom dengan tulisan-tulisannya yang mencerahkan. Mereka biasanya membahas persoalan-persoalan aktual, bersikap kritis, dan menyajikan solusi atas persoalan yang berkembang di masyarakat. Kadang juga mereka hadir dengan wacana dan pemikiran yang bersifat menggugat. Sebut saja Murtadha Muthahhari, Ali Syari`ati, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, Abdul Karim Soroush, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, dan lainnya, kerapkali mengisi media massa dan menulis buku-buku dengan gagasan yang segar dan mencerahkan. Mereka disebut intelektual publik karena pemikiran dan wacana yang disampaikannya dapat menggerakkan, menyadarkan, dan merangsang orang berpikir serta mengundang perdebatan yang kontruktif.

Apa yang menjadikan mereka menjadi intelektual publik? Selain karena faktor intrinsik seperti keinginan dan dorongan dari dalam diri sendiri untuk menjadi seorang intelektual publik, juga ada faktor ekstrinsik. Salah satunya adalah dorongan untuk menyebarluaskan kebenaran (dakwah), menjawab tantangan zaman, dan bahkan ada yang khusus memenuhi permintaan penguasa. Terlepas, apakah mereka saat membuat karya-karya intelektualnya karena pesanan penguasa atau bukan, tapi yang jelas karya-karya ulama dan ilmuwan Muslim terdahulu sangat bermanfaat hingga sekarang.

Ilmu kedokteran, matematika, kimia, fisika, arsitektur, astronomi, psikologi, dan lainnya, yang berkembang sekarang ini merupakan kontribusi dari ilmuwan dan ulama Muslim terdahulu.

Prestasi tersebut mereka raih dengan perjuangan yang tidak mudah. Kadang dengan proses yang panjang, berliku, menderita, keras, dan membahayakan jiwanya. Pengemblengan diri dengan penuh kesungguhan yang mereka lakukan akhirnya berbuah prestasi dan kebanggaan bagi umat manusia. Jelaslah bahwa—seperti kata KH.Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) dalam sebuah ceramahnya—jika ingin menjadi Muslim yang sukses dunia dan akhirat harus belajar, berlatih, dan tidak merasa puas dengan prestasi yang telah diraih.

Secara psikologis, jika diri kita memacu (kesadaran) diri dengan mengatakan bisa dan mampu, secara otomatis seluruh energi tubuh akan memusat padanya. Sehingga adrenalin dan semangat pada aktivitas tersebut makin terpacu. Jika sudah muncul semangat yang meluap-luap, melakukan aktivitas pun terasa ringan alias tidak terlalu menjadi beban. Apalagi jika aktivitas itu termasuk hobi yang disenangi, pasti terus menerus akan dilakoninya. Usahawan (pebisnis) sukses yang ada di negeri kita, jika ditelusuri kesuksesannya karena bermula dari hobi yang digeluti secara serius.

Untuk menjadi intelektual publik, tentunya memerlukan modal yang tidak sedikit. Bukan hanya finansial yang dibutuhkan, tapi kesadaran diri tentang pentingnya menjadi sosok intelektual publik. Jika sudah menetapkan niat, ia harus melewati tahapan yang sangat mendasar: belajar formal dan non-formal sesuai dengan bidang pilihannya. Setidaknya bisa diawali dengan membiasakan diri untuk cinta membaca, menuliskan hasil bacaan, dan berlatih terus menerus. Banyak jurnalis yang bekerja di media massa bukan berasal dari jurusan jurnalistik/komunikasi; banyak yang menjadi penulis buku atau novelis yang kuliahnya bukan dari sastra atau komunikasi; dan juga banyak yang menjadi editor bukan dari jurusan bahasa Indonesia; malah yang lulusan dari junalistik, bahasa atau sastra bekerjanya banyak di luar bidangnya. Karenanya, menjadi intelektual publik adalah keniscayaan bagi semua orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun