Google hari ini telah menjelma menjadi pemain raksasa dalam kompetisi teknologi yang semakin canggih. Ketika orang pada awalnya berlomba untuk menciptakan Search Engine, kini terbukti Google telah menjadi pemenangnya. Begitupula dengan hari ini ketika orang berlomba dalam ranah Artificial Intelligence, Google membuktikan bahwa dirinya dapat ikut berkompetisi dengan Gemininya yang banyak orang menilai telah mengalahkan ChatGPT dalam berbagai aspek.
Namun mungkin sedikit dari kita yang tahu bahwa raksasa teknologi Google bermula dari sebuah proyek bersama antara Larry Page dengan kawan kuliahnya Sergey Brin yang saat itu keduanya sedang mengenyam pendidikan di Universitas Stanford.
Kasus keberhasilan perusahaan besar yang diawali oleh pertemanan tidak hanya dialami oleh Google, terdapat juga Reed Hastings dan Marc Randolph yang mendirikan Netflix, Mark Zuckerberg dan keempat temannya di Harvard dengan Facebook, Jerry Yang dan David Filo dengan Yahoo, dan dalam konteks Indonesia kita memiliki contoh Achmad Zaky, Fajrullah Maulana, dan Teddy Oetomo, yang saat itu merupakan sekelompok mahasiswa ITB yang mendirikan Bukalapak.
Namun apakah hal tersebut di atas dapat terjadi pula pada kita dan banyak orang biasa lainnya? Jawabannya sudah pasti belum tentu. Karena dalam praktiknya kerap kali bekerja sama dengan teman sendiri sama artinya dengan mengizinkan orang lain untuk turut menikmati hasil kerja keras kita sendiri (or even worse).
Kegiatan makan tulang teman sendiri seperti ini tentu saja berpotensi untuk menimbulkan konflik dan berujung pada rusaknya pertemanan yang sebelumnya telah terbangun sekian lama dengan hangatnya, dan barangkali ini lah yang menjadikan sebagian orang memutuskan untuk membuat tembok pemisah yang tinggi antara kehidupan profesional dengan kehidupan pertemanannya (casual).
Tembok pemisah ini berfungsi untuk mencegah bercampurnya peran sosial yang bisa saja memiliki kontradiksi di dalamnya sehingga berpotensi menimbulkan disintegrasi. Dalam bahasa awamnya bisa saja ada seseorang yang sangat baik sebagai rekan kerja namun yang bersangkutan tidak bisa menjadi sama baiknya ketika sedang memainkan peran menjadi seorang teman di kehidupan casual, serta begitupula sebaliknya adapula orang yang sangat baik menjalankan perannya sebagai teman namun kurang ajar ketika diposisikan menjadi rekan kerja.
Saya pernah memiliki teman kuliah yang sangat baik, bahkan pada suatu kesempatan ia mengantarkan saya ke rumah sakit ketika saya sedang demam di kostan, saya dan dirinya juga tidak kurang-kurangnya dalam berbagi cerita dan keluh kesah saat itu. Akan tetapi ketika pada suatu kesempatan saya mengajaknya untuk menjalankan usaha bersama, tiada angin tiada hujan ia memutuskan untuk meninggalkan saya sendiri di tengah persiapan peluncuran usaha tersebut yang telah disusun dengan matangnya. Otomatis, uang yang sudah keluar untuk segala persiapan itu hilang sia-sia.
Bersyukur pertemanan kami masih terjaga, meskipun sejak hari itu saya berprinsip bahwa tidak akan mengikutsertakannya lagi jika terdapat peluang sejenis. Mungkin ia adalah definisi dari seorang teman yang baik, tapi tidak bisa menjadi rekan kerja yang baik. Dan saya berusaha untuk tetap menjaganya pada posisi dimana ia bisa menjadi "yang baik".
Rusaknya pertemanan karena hal semisal di atas perlu dapat dicegah jika memungkinkan, karena sangat disayangkan jika pertemanan yang telah "disemai" sekian lama dapat bubar begitu saja karena suatu urusan.
Pada pengelaman bekerja sebelumnya, saya sangat bersyukur memiliki seorang bos yang sangat baik dan sering memberikan input konstruktif bagi peningkatan diri saya secara profesional, akan tetap ketika suatu hari saya mencoba untuk meminta username Instagramnya dengan maksud agar dapat saling terhubung di sosial media dia menjawab dengan.
"Sorry Bil, I want to keep it professionally"
Meskipun cerita di atas memiliki logika proses yang berbeda dengan cerita sebelumnya (teman casual menjadi rekan kerja dan rekan kerja menjadi teman casual), bos saya melakukan tindakan yang dapat dikategorikan cukup bijak dan dapat diterapkan pada kedua logika proses tersebut, yaitu dengan berusaha untuk tidak meneruskan proses "penambahan peran" kepada dirinya yang barangkali ditujukan salah satunya untuk menghindari konflik sebagaimana dimaksud pada deskripsi sebelumnya di atas.
Saya pun menghormati hal itu meskipun agak "kaget" karena itu adalah kali pertama saya menerimanya di tempat kerja pertama saya juga.
Akhirul Kalam, tentu kita memiliki pola pertemanan yang berbeda antara satu kelompok pertemanan dengan kelompok pertemanan yang lain, yang sudah pasti akan mempengaruhi apakah pertemanan yang kita miliki saat ini juga dapat bertransformasi menjadi ikatan rekanan dalam bekerja secara profesional seperti kisah sukses yang telah diutarakan pada awal tulisan ini.
Intinya saya ingin menekankan bahwa tidak salah bagi kita untuk membangun tembok pembatan tersebut, tembok yang akan membatasi rekan kerja anda untuk memasuki dunia pergaulan casual anda dan bagi teman anda yang ingin ikut campur dalam dunia profesional anda. Jangan takut untuk mengucapkan tidak sebagaimana cerita bos saya di atas.
Menurut mu apakah sebaiknya tembok pemisah antara dunia pertemanan dan dunia profesional ini harus ada dalam kehidupan sosial mu saat ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H