Mohon tunggu...
Ahmad Robitul Wafa
Ahmad Robitul Wafa Mohon Tunggu... -

aktif dalam dunia kepenulisan, panggung dan broadcasting. dan kini tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dalam Perjumpaan

1 November 2014   19:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:56 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit jogja cerah. Tak ada satu mendungpun menggantung. Sambil duduk di salah satu kursi sebuah halte, kunikmati pemandangan kota tua itu. Kurasakan benar sepoi angin yang menelisik, meski kulihat jauh matahari bersinar terik.

Lalu lalang kendaraan tradisional diantara tunggangan produksi jepang, Nampak bebas melenggang. Tak terlihat diantara mereka sebuah paksaan, mereka berjalan sesuai kemauan. Aku duduk di sebuah halte yang terletak persis di depan Sekolah Menengah Pertama. Ini bukan kali pertama, tapi juga bukan rutinitasku setiap harinya.

Ini hari spesial, hari kelahiran anakku yang pertama, lima belas tahun silam. Aku ingin menunjukkan ke-ayah-anku padanya, sikap yang tak pernah kudapatkan semasa usiaku sama dengannya. Hari-hariku yang disesaki oleh pekerjaan dan kesibukan tak boleh jadi alasan untuk tak memperhatikan hal kecil ini.

“permisi…” suara seorang wanita mengusik lamunanku. Tak kuhiraukan sepenuhnya, hanya sepintas kuperhatikan ujung kakinya sambil kugeser letak dudukku. Mungkin dia juga ingin menikmati fasilitas umum ini, pikirku. Selanjutnya aku tak menggubrisnya. Kami hanya saling diam.

Aku kembali merasuki alam pikiranku sendiri. Menghitung jumlah kendaraan, menerka-nerka tujuan perjalanan mereka dan melakukan sesuatu yang sebenarnya tak ada gunannya juga. Tapi kemudian, aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Melalui ekor mataku, aku perhatikan wanita yang baru saja duduk di sampingku sedang mengamatiku. Dan aku semakin risih ketika pengamatannya semakin berlebihan.

Dengan sedikit keberanian, sambil seolah memperhatikan salah satu kendaraan yang tengah melintasi jalanan, aku mencoba mencuri pandang. Dan diluar dugaanku, pandangan kami bertemu. Aku tercekat, gelisah, takut dan malu. Gelisah, karena pengamatanku yang pertama langsung ia ketahui, takut dianggap akan berbuat macam-macam terhadap perempuan, dan malu bila dianggap tak bisa menjaga kesopanan.

Dan ditengah rasa yang berkecamuk itu, ada Sesuatu yang singgah dalam pikiranku.

“maaf, apa kita pernah bertemu?” pertanyaan itu meluncur dari mulutku. Tentu setelah kutambah sedikit keberanianku.

“Kamu Sidik, kan? Sidik Mulyono”

Ya. Itu namaku. Tapi kenapa dia tau namaku? Otakku berputar.

“iya, benar”

“saya Laila. Laila Putri.” Dia sodorkan tangan, kami berjabat tangan.

Laila? Semakin kencang otakku berputar. Menembus batas-batas waktu yang sudah terlewati. Satu persatu nama kumunculkan dalam ingatan. Teman kerja? Tak ada. Teman kuliah? Bukan. Teman SMA? Juga bukan. Lalu? Oh… ada satu nama di daftar hadir SMPku dulu. Aku berhasil menemukannya.

“Lailai Putri, SMP 1 Surabaya?” tanyaku meyakinkan diri.

“iya” jawabnya tak kalah yakin.

Selanjutnya kami saling bertanya kabar. Sedikit bernostalgia. Mengenang masa-masa kami beranjak remaja. Mengingat-ingat beberapa nama yang sudah kami lupa. Menyambung bagian-bagian cerita yang terpotong dan diantara kami langsung mengalaminya atau hanya melihat saja.

Diam-diam aku memperhatikan sesuatu yang menghampiri ingatanku dimasa itu. Lesung pipit. Ya, dekik—kata orang jawa—itu masih ada. Pesona itu yang membuatku mengaguminya. Dia memang cantik. Bermata tajam, berambut panjang dan hitam, berkulit kuning—meski cenderung hitam-- dan senyumnya yang selalu menawan. Ah, Laila Putri. Putri malam. Sungguh beruntung lelaki yang dapat mempersuntingmu, begitu khayalku dimasa beranjak remaja dulu.

Dulu kami tak begitu dekat, itulah sebabnya kini aku tak begitu mengingat. Terlebih kami tidak berasal dari desa yang sama. Dulu, keadaan keluarga kami sungguh jauh berbeda. Dia dari keluarga yang cukup berada, sedangkan aku dari keluarga tak berpunya. Dari kabar yang kudengar semasa itu, keluarganya memiliki toko kelontong yang cukup besar di pinggiran pasar, sedang keluargaku; ibu sebagai buruh cuci, Bapak seorang buruh proyek bangunan yang lebih sering pergi dan hanya pulang beberapa bulan sekali.

Dalam perjumpaan di sebuah halte itu, selanjutnya kami saling bercerita keadan kami selepas kelulusan dari SMP itu. Keluarganya sudah tak utuh ketika dia lulus SMA. Semenjak itu dia memutuskan untuk meninggalkan Surabaya bersama ibunya--setelah kakak dan Bapaknya juga telah pergi entah kemana. Kini dia telah memiliki seorang anak yang sedang duduk dibangku kelas dua SMP yang sama dengan anakku.

Begitu pula aku, kuceritakan semua yang telah menimpa keluargaku; kepergian Bapakku yang juga entah kemana semenjak aku masih di Surabaya—sebulan menjelang kelulusan SMP,melanjutkan SMA dan kuliah di Jogja, meninggalnya ibuku beberapa tahun kemudian, sampai keadaanku saat ini; yang telah beristri, beranak dua, dan bekerja di sebuah bank swasta.

“yah… beginilah kehidupan”desahnya yang meski tetap tampak tegar. “kita tak akan pernah tau satu detik yang akan datang, juga tak akan bisa mengubah satu detik yang telah terlewatkan”. Matanya masih tetap tajam. Menatap jauh ke depan. Suaranya bertarung dengan deru mesin kendaraan yang berlalu lalang di jalanan.

Aku hanya diam. Mengangguk-angguk kecil.

“jadi, hari ini anakmu ulang tahun?” alihnya kemudian.

“ya. Yang kelima belas. Tepat saat aku harus kehilangan sosok seorang Bapak” jawabku mengaliri kenangan masa silam.

“tetapi tidak dengan anakmu. Pasti dia merasa bangga memiliki seorang ayah sepertimu”

“yah… semoga saja begitu”.

Dentang bel pulang sekolah berbunyi di ujung kalimatku. Kami berdua bersama memasuki gerbang sekolah. Dalam hitungan menit selanjutnya, anak kami masing-masing datang menghampiri kami berdua. Setelah sedikit berbasa-basi dan bertukar nomor ponsel, kami saling pamit undur diri. Aku menuju mobilku yang terparkir di sudut halaman sekolah, sedang dia masih harus menunggu suaminya. Begitu katanya.

Dan bagaikan tersengat aliran listrik dengan voltage tertinggi, aku benar-benar tercengang. Ketika mobil kami berpapasan didepan gerbang sekolah, aku melihat seseorang yang dia sebut sebagai suaminya itu dengan jelas. Lelaki yang tak lagi muda, lebih pantas jika menjadi ayahnya atau kakek dari anaknya. Sungguh aku mengenali wajah suaminya.

Tanpa kusadari, dadaku sesak, bergemuruh, tanganku yang mencengkram kemudi pun bergetar. Lelaki tua itulah yang telah meninggalkan aku dalam usia lima belas tahun. Dia yang menjadikan kami, hidup ibuku menderita sampai akhir hayatnya. Dia adalah Bapakku. Dia kakek anakku yang tengah duduk disampingku. Dia… Ah… kuhela nafasku perlahan untuk sekedar menenangkan diri.

Kupandangi wajah anakku yang tengah beranjak remaja. Dalam hati aku bersumpah, “engkau tak perlu merasakan kepedihan derita ini, Nak…”.

Yogyakarta, 15 Oktober 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun