Mohon tunggu...
Ahmad Robitul Wafa
Ahmad Robitul Wafa Mohon Tunggu... -

aktif dalam dunia kepenulisan, panggung dan broadcasting. dan kini tinggal di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jarkoni Mewariskan Tahta

11 Desember 2014   05:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:33 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dengan kata segalanya dapat tercipta

Dengan kata seorang pujangga berujar cinta

Dengan kata seorang raja gunakan kuasanya

Dengan kata para filsuf meringkas dunia

Tapi kata hanya akan jadi kata belaka

Bila tak satu makna pun mencair dalam otak manusia

Itulah yang telah saya rasakan disuatu malam, dalam sebuah pertunjukan music di sebuah kota besar di Indonesia kita tercinta. Ketika sebuah group music mulai memainkan alat music dan beberapa penggemarnya mulai melantunkan bait-bait liriknya dengan hikmat. Saya mengakui kedalaman pesan pada lirik lagu tersebut, sehingga menjadikan para penggemar melantunkan seolah dengan sepenuh jiwa. Tapi yang muncul dalam benak saya dikemudian waktu, “apakah mereka (para penggemar) memahami makna kalimat yang dilantunkannya?”.

Kita harus mengakui, di Indonesia banyak para musisi atau group music papan atas yang memiliki idealisme moral tinggi dengan penggemar fanatic yang begitu banyak. Sebut saja Iwan Fals, Slank, dan Superman Is Dead. Dalam lagu-lagu mereka, pesan-pesan tentang moral; perdamaian, kejujuran, kepedulian dll, hampir tak pernah tertinggalkan. Terlebih mereka meyampaikan dengan kata-kata yang sederhana dan seharusnya mudah dimengerti. Lalu saya terus bertanya, “mengapa pesan moral itu seakan tak pernah menyentuh para penggemarnya?”.

Mengapa pertanyaan kedua ini muncul di kepala saya? Karena pada malam pertunjukan music itu—dan sepertinya hampir di setiap pertunjukan yang sama—perilaku amoral (kenakalan remaja-lebih halusnya) lebih kentara di depan mata; minuman keras, narkoba, penipuan, kekerasan, dll. Bahkan tak jarang aparat keamanan justru terlibat di dalamnya.

Saya berpikir keras. Apakah ada yang salah? Bijakkah bila kita masih mengkambing hitamkan zaman atau pendidikan dengan berkata, “zaman memang sudah berubah” atau “system pendidikannya yang salah”. Lalu kita akan menjadi orang yang keberapa puluh juta yang telah berkata demikian dan tak merubah keadaan?.

Ini memang keadaan yang membingungkan. Jujur, ketika melihat keadaan itu saya lantas berpikir tentang masa depan Indonesia yang suram. Yah, mungkin hanya pikiran buruk saya saja. Tapi bagaimana pendapat anda ketika sebuah Negara diwariskan kepada satu generasi yang bisa dengan fasih melalafalkan kata-kata bijak atau pitutur-pitur luhur tetapi tak satu pun kata dapat mereka pahami? Jarkoni kata orang jawa. Ngajar tapi ora nglakoni (Mengajari tapi tidak melakukan). Mulut berteriak damai tapi kaki tangannya terus menyakiti.

Ah, Jarkoni sudah pernah ada di negeri ini. Akankah kita biarkan Jarkoni mewariskan tahta kepada keturunannya yang bahkan tak mengerti makna sebuah kata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun