Selain itu, menurut Psikolog Forensik UGM, Prof Koentjoro, pelaku begal payudara bisa saja memiliki penyimpangan atau kelainan. Namun, jika dikategorikan, penyimpangan yang dimiliki masih dalam tahap yang kecil. Itu pula yang menyebabkan penyimpangan tersebut tidak diketahui banyak orang (Priatmojo, 2021).
Lebih lanjut, beliau juga mengungkapkan bahwa terkait perilaku seksual pelaku, antara perempuan dan laki-laki juga memiliki perbedaan. Jika pada perempuan, dia harus memiliki rasa (perasaan) terlebih dahulu baru timbul suatu gairah. Sedangkan bagi laki-laki, dengan hanya membayangkan maupun melihat, hal tersebut sudah menimbulkan rasa ingin berbuat sesuatu. Disanalah puncak kepuasan yang bisa ia dapatkan. Meski tidak melalui hubungan seks, dengan dia melihat seperti itu, dia bisa orgasme. Hal inilah yang turut mendukung mediator dalam membuat pelaku berbuat demikian (Priatmojo, 2021).
Alasan lain yang dapat menjelaskan mengapa para peleceh melakukan hal tersebut adalah karena mereka merasa memiliki "wewenang maskulin" (masculine entitlement) (Logan, 2013). Dengan merasa memiliki wewenang maskulin, para peleceh menganggap pelecehan itu, termasuk didalamnya begal payudara, merupakan sifat alamiah manusia dan sebagai wujud ketertarikan seksual yang tak berbahaya (Logan, 2013). Rasa wewenang maskulin juga membentuk sikap peleceh yang ingin mempermalukan, mengontrol, meneror, atau menyerang targetnya.
Dampak Terhadap Korban
Seperti pelecehan seksual lainnya, dampak yang terjadi pada korban begal payudara dapat berbeda-beda, tergantung berat dan lamanya pelecehan seksual. Dampak psikologisnya serupa dengan korban perkosaan. Balas dendam pelaku, serangan balasan, atau victim blaming adalah hal yang memperburuk kondisi psikologis korban.
Umumnya akan diposisikan serupa korban perkosaan. Selain itu, dampak sosial yang dialami korban adalah dapat mengganggu kinerja aktivtas yang dilakukan sehari-hari, seperti menurunnya prestasi sekolah/kerja; kehilangan kehidupan pribadi karena menjadi "yang bersalah", menjadi objek pembicaraan; kehancuran karakter/reputasi; kehilangan rasa percaya pada orang dengan tipe/posisi yang serupa pelaku, kehilangan rasa percaya pada lingkungan yang serupa, dan sebagainya. Disamping itu juga terdapat dampak psikologis/fisiologis, yaitu: depresi, serangan panik, kecemasan, gangguan tidur, penyalahan diri, kesulitan konsentrasi, sakit kepala, kehilangan motivasi, kemarahan dan violent pada pelaku, merasa powerless, helpless, hingga pikiran bunuh diri (Triwijati, 2007).
Jika sudah terlanjur mengalami, Apa yang perlu korban lakukan?
Bagi korban yang mengalami pelecehan seksual, kususnya begal payudara, untuk sebaiknya diharapkan untuk melapor kepada pihak kepolisian pada unit PPPA yang akan dilayani oleh petugas polisi perempuan. Dengan adanya laporan maka petugas kepolisian bisa lebih mudah untuk melacak dan mengidentifikasi pelaku. Dengan melapor pada pihak keamanan juga diharapkan akan ada tindakan tegas pada pelaku. Selanjutnya pelaku bisa mendapat sanksi atau penanganan lain sesuai perbuatan yang telah dilakukan.
Selain itu, walaupun korban pelecehan seksual, khususnya begal payudara jarang ada korban secara fisik (luka), namun tindakan ini tidak dimungkiri bisa mengganggu mental korban. Untuk itu, korban disarankan dapat melakukan konsultasi kepada pihak yang kompeten, seperti ke psikolog atau psikiater untuk mendapatkan layanan.
Referensi :
Aksi warga kejar pelaku begal payudara di kemayoran ketangkap dan dimassa. (26 Mei 2021). Kumparan. Diambil dari http://kumparan.com pada 4 Juni 2021