Kurang lebih dua tahun saya menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negri di bandung, saya melihat dan mengamati lingkungan kampus itu sangat dinamis berbeda seperti waktu saya berada di sekolah menengah atas. perbedaan antar individu secara fisik begitu terlihat di kampus, berbeda dengan sekolah menengah yang semua serba seragam mulai dari baju, sepatu hingga rambut pun harus seragam.
aturan mengenai keseragaman di sekolah menengah menyebabkan tidak terlihatnya status sosial seseorang, siswa tidak bisa menonjolkan status kayanya karena apa yang dikenakannya pun sama dengan siswa lain, sama-sama menggunakan seragam putih-abuabu dan sepatu hitam.
beralih ke masa perkuliahan, mahasiswa baru mulai mengaktualisasikan dirinya berlomba-lomba tampil semenarik mungkin. mahasiswa kaya mulai menjadi model berjalan bagi produk produk branded di sisi lain mahasiswa yang miskin pun sama-sama ingin terlihat kaya dan menggunakan produk-produk bermerek walaupun produknya kw.
kebetulan saya kuliah di Bandung yang katanya kota kreatif di indonesia, saya dan teman teman saya yang dari desa dengan orang bandung asli yang chick dan gaul terlihat seperti ada sekat yang membatasi, sekat sekat itu adalah perbedaan status sosial. mahasiswa kaya minum kopi di starbuck sementara kami yang orang desa minum kopi di warung kopi. tidak maslalah sebenarnya perbedaan perbedaan itu, yang jadi masalah adalah ketika si kaya dan si miskin tidak mau meleburkan diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H