Beberapa waktu lalu KH. Sholahuddin Wahid, pengasuh Ponpes Tebu Ireng atau yang biasa disapa Gus Solah menggugat definisi dari "Politik Identitas". Bahkan beliau juga mempertanyakan orang yang menuding agama sebagai alat politik. "Saya ngomong sama anak saya, misal ya, kamu harus memilih pemimpin Islam. Apa ada yang salah dengan itu? Kan tidak," tegasnya. "Tapi batasan kampanyenya, mesti dirumuskan bersama", sambungnya dikutip hidayatullah.com
Pada kesempatan lain, Ibu Megawati Soekarno Putri, saat deklarasi cagub Sumatera Utara, salah satu alasan memajukan Djarot di Pilkada Sumut adalah identitas Jawa-nya. Megawati, dalam rilis merdeka.com, menyebut banyak orang Jawa di Sumut dan memintanya untuk maju.
Di Papua bahkan ada lembaga untuk memverifikasi calon peserta pilkada apakah orang Papua asli atau bukan. Begitu pula di Jatim yang kental dengan nuansa dan tradisi NU, rasanya sulit bersaing di Pilkada tanpa menggandeng orang NU. Juga kita temui di daerah lainnya, dengan ajakan: pilih putra daerah atau pileh dulur dewek. Di Amerika dan Eropa, sentimen identitas juga tak bisa dielakkan. Kemenangan Donald Trump disinyalir tak lepas dari wacana anti-Islamnya saat kampenya Pemilu AS.
Bukan hanya menyasar target konstituen, politik identitas juga berbentuk organisasi. Gerakan feminisme yang membawa isu gender misalnya. Atau gerakan paguyuban berbasis suku, ormas dan OKP nasionalis-agama, juga wujud dari politk identitas yang terlembagakan.
Sementara orang bilang politik identitas adalah kemunduran demokrasi. sekarang kita mesti selalu ingat, aksi massa 212 adalah manisfestasi dari identical awareness tingkat tinggi di kalangan umat muslim Indonesia. Bahkan dukungan politik terhadap kemerdekaan Palestina juga wujud dari itu. Apakah ini satu bentuk kemunduran berdemokrasi?
Saya sempat berfikir, ini yang menggulirkan wacana anti politik identitas berasal dari pihak (identitas) mana? Tujuannya apa? Bisa jadi ini satu bentuk kefrustasian dalam berpolitik sehingga ada gerakan untuk "membiaskan" identitas kelompok lain.
Menolak intoleransi
Pada intinya politik identitas ini merupakan bagian dari cara berpolitik kita. Bukan barang asing. Buktinya, kita sendiri yang memproduksinya lewat cara kampanye, cara memetakan suara, cara berorganisasi, dan cara membela identitas diri kita sendiri. Seperti yang sudah saya sebutkan pada contoh sebelumnya.
Baiklah, kita sepakat bahwa cara berpolitik kita mesti naik kelas. Dari sekadar jualan identitas menjadi jualan ide dan gagasan. Politik identitas juga bukanlah instrumen untuk melakukan tindakan rasisme. Cukuplah keberpihakan identitas ini menjadi alat ukur untuk menilai berada di pihak manakah kita. Dalam perang asimetrik di zaman ini, identitas itu perlu untuk mempertegas di pihak mana kita berperang. Tentunya dalam konteks perang demokrasi. Bukan anarkisme.
Pemicu utama merebaknya politik identitas ini tidak lain karena gagalnya sistem birokrasi kita menjamin hak-hak identitas. Sehingga ada semacam ketidakpercayaan pada kinerja pemegang kekuasaan. Ditambah adanya sikap "menjaga jarak" yang seharusnya tidak dilakukan oleh pemegang kekuasaan pada pemilik identitas. Sebagai contoh, penistaan agama yang dilakukan Ahok saat menjabat gubernur DKI yang memicu konflik luas. Contoh lain, saat Jokowi berkali-kali terkesan menjauhi umat islam lewat UU ormas dan tidak membuka diri saat umat melakukan aksi bela Islam. Dan dipertegas oleh partai pengusungnya PDIP yang menyatakan tidak takut kehilangan suara umat Islam.
Peran identitas