Mohon tunggu...
Ahmad Risani
Ahmad Risani Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Menulis apa saja

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sajian Ideologis dalam Semangkok Mie

13 Desember 2014   17:51 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:23 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya juga sama, penyuka Mie Instan. Tapi gak kalap, sewajarnya saja. Kadang-kadang jadi makanan utama, kebanyakan jadi cemilan di sore hari. Yah, di jam-jam tanggung saya biasa abisin satu mangkok, dikatakan makan siang lewat, makan malam belum sampai. Tak lupa pakai nasi dan telor. Biar kenyang.

Sambil nonton bola - Liga Indonesia kan di jam-jam segitu, saya biasanya siapkan satu mangkok mie. Rasanya seru aja kalau nonton sambil ngemil mie. Apalagi tim kesayangan saya SFC yang main. Bisa nambah 3 porsi.  Pake cabe ijou, cucur liur.

Nge-mie, saya sukanya yang kuah. Ada makna filsafatis tersendiri makan mie kuah itu. Konon, jika semangkuk mie kita anggap sebagai miniatur bumi, maka kuah adalah samuderanya. Mie sebagai daratan dan kuah sebagai lautan. Bumi yang sehat butuh keseimbangan. Dari sinilah, saya juga bertafakur, alangkah rakusnya, kalau apa yang saya makan ini dianalogikan dengan bumi. Kejam. Korup. Nista. Tapi tak apa, begok amat kalau makan mie aja sampai segitunya. Ntar otaknya keriting kayak mie, karena kebanyakan mikir.

Mie Instan, Indomie, mie Sedaap, atau Sarimi misalnya. Adalah bagian penting dunia perkulineran Indonesia. Tidak salah jika kita daulat sebagai makanan khas nusantara. Dedikasi yang tulusnya telah banyak memberi solusi bagi semua kalangan masyarakat Indonesia.

Dari perjalanan panjang itulah, Mie instan menjadi simbol di beberapa momen dan peristiwa sosial masyarakat, simbol ini kemudian menjelma menjadi sajian ideologis yang patut untuk dimaknai, diantaranya:

Simbol Diaspora

Misi ekspansi kebangsaan telah lama menjadi agenda para pendiri bangsa. Dunia telah mengenal bangsa ini sedari dulu, punya sejarah yang masyur, keragaman yang damai, hingga kekayaannya. Namun, kita kerap melupakan mie instan - produk lokal yang berhasil berdiaspora diberbagai negara. Menemani imigran yang bekerja sebagai TKI, Mahasiswa, atau sekedar berrwisata. Indomie misalnya, di negara-negara langganan TKI/TKW, mie bungkus ini menjadi barang wajib distock di rak dapur majikan. Dari dapur, dunia pun mengenal Indonesia.

Simbol Kepedulian

Wilayah Indonesia yang luas dan memiliki keragaman topografis yang unik, disamping memberikan berkah kesuburan, juga kerap mendatangkan musibah yang tak bisa dielak. Banjir, longsor, hingga gempa menjadi semacam agenda tahunan. Nah, saat-saat inilah mie menunjukkan sisi kasihnya yang paling dalam. Tak pernah absen dalam daftar isi sumbangan bencana. Selalu ada kotak mie disitu. Tak ada bencana yang terlewatkan olehnya. Mie, takkan rela ada yang lapar di kemah penampungan. Takkan rela.

Simbol Keragaman

Keragaman adalah keniscayaan. Keseragaman itu kemustahilan. Memaksakannya  ialah kenaifan. Begitulah kata para ideolog. Pun juga dengan selera. Bahkan selera setiap saat bisa berubah-ubah. Sehingga, untuk menyiasati keragaman itu, Mie Instan hadir tidak hanya dalam satu rasa, ada beragam pilihan. Rasa kari, soto, ayam bawang, bbq, hingga citarasa tradisional. Tersedia dalam kemasan mie gorang dan rebus - yah meskipun semuanya di sedu. Ingat, saya sukanya yang kuah.

Simbol Perlawanan

Musuh utama sebuah negara itu adalah kemiskinan, miskin itu dekat dengan lapar. Lapar berdampak pada fisik dan psikologis seseorang, semakin banyak yang lapar, semakin kacau sebuah negara. Bahkan karena lapar banyak yang rela memakan saudaranya sendiri. Seperti para koruptor itu. Untuk memastikan keberlangsungan sebuah negara, tugas pemerintah - salah satunya - memastikan rakyatnya tidak ada yang lapar. Tidak ada cara lain untuk menyikapi kelaparan, kecuali dengan melawannya. Lawan dengan makan - berontak dalam diam. Dan Mie, Siap untuk itu. Begitulah kredo gerakan mie instan.

Dari simbol-simbol diatas, Mie instan telah menunjukkan sisi ideologisnya yang paling dalam. Ia nasionalis lewat diaspora kebangsaannya. Ia humanis lewat kepeduliannya. Serta bersikap pluralis dengan keragaman rasa. Dan terakhir, ia sangatsosialis berdiri bersama orang-orang yang lapar.

Lantas, adakah mie termasuk bagian dari religiusitas?. Jelas. perintah untuk nasionalis, humanis, mencintai keragaman dan kepedulian sosial - adalah keniscayaan dalam agama. Dan mengamalkannya adalah ibadah. Tak ada keraguan disitu.

Kalau sudah begitu, Mie Instan Pancasilais sejati donk?. Bisa jadi, berkat amalan ideologis yang telah ia unggahkan. Sangat prinsip. Meskipun Indomie tak pernah ikut upacara bendera - eh ikut dink- di dalam perut.

Mie. Selalu ada dan setia. Sarat makna untuk didedahkan. Selanjutnya giliran anda menatahkannya. Sebelum itu, seduhlah mie instan, rasakan aroma inspirasinya. Sruput kuahnya yang gurih, lalu santap kenyalnya yang lezat.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun