Mohon tunggu...
Ahmad Rifai
Ahmad Rifai Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pembelajar seumur hidup

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Risalah Islam Berkemajuan: Mentadaburi Pesan Prof. Haidar Nashir

31 Agustus 2024   18:21 Diperbarui: 31 Agustus 2024   18:21 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Guru, kata Pak Haidar, akan tertinggal oleh murid dalam aspek penguasaan wawasan dan definisi. Itu kalau kita andaikan mereka mampu memanfaatkan teknologi. Namun, apa yang tidak dimiliki siswa daripada guru? Ya, tentu, kepekaan metodologis. Guru yang mengusai metodologi ilmu, akan dengan cerdas memain-mainkan data, dan wawasan. Di sinilah pentingnya guru: mengantarkan murid kepada ilmu dan pemahaman. Mereka---murid---mungkin tau hukum wudhu dari internet, tetapi mereka tak akan tau---jika tak belajar kepada guru---seluk -beluk: mengapa hukumnya itu, mengapa tidak yang lain? Bagaimana proses penyimpulannya? Dsb. Maka dari itu, talabul ilmi menjadi aktifitas yang tidak terpisahkan dari sosok guru. Tidak hanya menambah wawasan, namun melatih kepekaan metodologi dengan membaca dasar-dasar ilmu pengetahuan, metodologinya, filsafatnya, dll.

Guru, pesan Ketum, perlu meluaskan bacaan. "Jangan takut membaca! Bahkan buku merah sekalipun." Dengan bacaan yang multidisiplin, guru serta siswa diharapkan mampu melihat berbagai persoalan secara multiperspektif. 

Kalimatu Tafdhil (kalimat superlative)

"Tiada mungkin sekelompok kecil menakhlukan kelompok besar bilamana Allah memberi izin." Terjemah ayat itu disitir oleh Pak Haidar. Itu kalimat tafdil (kalimat utama) atau kalimat superlative. Kalimat itu semacam aforisma, atau pesan pendek yang padat isi. Kalimat pendek itu merupakan keyword (kata kunci) kemajuan sebuah bangsa atau umat.

Islam menempati peringkat pertama agama di Indonesia yang paling banyak di anut oleh penduduknya. Tetapi, kita yang memiliki pedoman Alquran, kita tahu kata kunci kemenangan ada semua di dalamnya, namun kalah dengan kelompok kecil sebagaimana yang terrtera rapih di dalam Alquran. Kata Nabi, "Umatku kelak di jaman akhir berjumlah banyak, namun bak buih---hadir dan adanya tak memberi pengaruh kemajuan." Ini risalah akhir zaman dari Nabi.

Kelompok Tolut yang kecil namun militant dan berkualitas dapat menguasai kelompok Jalut yang mayoritas. Pertama, karena mereka berkualitas. Kedua, karena Allah mengizinkan.

Kemenangan Tolut membawa keberkahan sebab mereka diizinkan Allah. Maka apa yang bisa dilakukan oleh kaum muslim? Pesan Ketua PP Muhammadiyah tersebut: ikutilah etos dan mentalitas kelompok kecil tersebut! Bahkan, kalau mampu, etos dan mentalitas kita harus berada di atas mereka.

Sekilas Epistemologi Islam

Dalam studi filsafat kita mengenal pembabakan bahasan dalam tiga cabang kajian: 1.) ontology, membahas segala hal yang ada, hingga ke akar-akarnya, dan kea rah mana akar itu merambat, serta tahu peta akar itu akan berkembang. 2.) epistmologi, mengulas bagaimana manusia bisa mengetahui yang ada, apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk tahu yang ada. 3.) aksiologi, ia membahas segala hal yang baik dan buruk, indah tidak indah, benar dan salah; biasanya, orang-orang mempertanyakan di dalam ruang kajian aksiologi: bagaimana cara hidup yang baik.
Buya Haidar menegaskan ada tiga nalar dalam islam. Di barat, hanya menerima dua saja sumber ilmu pengetahuan: akal dan Indera. Wahyu, tidak termasuk. Islam mengenalkan epistemology yang beda dengan yang dikenal di Barat. Ilmuan muslim sejak Al-Farabi hingga Seyyed Hosein Nasr, tentu tak pernah lepas dari nalar tersebut. Pertama, Bayani (teks wahyu), Burhani (rasio), Irfani (rasa). Ketiga nalar berpikir muslim inilah yang hari ini perlu kita gaungkan Kembali untuk didalami di sekolah-sekolah, khususnya di Muhamadiyah. Burhani, biasanya kita mendapati percakapan tersebut di dalam kajian ilmu-ilmu rasional: matematika, logika, sains. Bayani, kita secara tidak sadar, telah mendalaminya di dalam kajian-kajian ilmu islam: tafsir, hadits, ilmu hadits, dll---walau dalam perumusan ilmu keislaman tersebut tidak lepas dari logika tradisional Aristotelian. Adapun yang terakhir, Irfani, terdapat di dalam ruang lingkup akhlak, tasawuf, seni, dan sastra.

Mengapa harus harus memadukan ketiga epistem tersebut? Kita tahu, barat yang digdaya dengan peradaban "fisiknya" tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan moral dam kesehatan mental. Burhan (rasional-empirik) lebih dominan menjadi mode berpikir mereka. Timur, yang diwakili oleh negara-negara islam, yang cenderung dominan pada bayani dan irfani, tak kunjung lepas dari perselisihan antar mazhab fikih dan tasauf. Pendidikan islam yang memadukan ketiga nalar berpikir tersebut, khususnya sekolah-sekolah Muhamadiyah, dapat menjadi pelopor bangkitnya peradaban islam yang tidak hanya kuasa dalam menalar secara rasional dan empirik, namun juga tak lepas dari wahyu serta rahsa yang kaitannya dengan hubungan inter-sebjektif antar sesama manusia. Rahmatan lilalamin, begitu peradaban islam seharusnya: maju secara material, pun jua mapan secara spiritual dan seni.

Wallahualam bishawab...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun