Oleh: Rifai Ahmad
Suatu ketika Seorang Bapak sedang menyalakan lilin. Ia memiliki anak masih balita, belum bisa jalan, bicara. Anak itu penasaran dengan api, ia mendekati sumber cahaya, kemudian memegang api yang, kita tahu apa yang akan terjadi. Anak itu menangis sekencang-kencangnya. Bapaknya membiarkan, ia tidak marah.
Besok hari Bapaknya menyalakan lilin lagi, namun anaknya tidak berani mendekati lagi. Ia sudah tau konsekuensi apa yang akan ia dapatkan apabila memegang barang panas itu.
Cerita di atas saya dengar dari Pak Toto Rahardjo, perintis SALAM (Sanggar Anak Alam) yang bertempat di Jogja. Beliau melakukan itu bukan tanpa alasan, atau lebih buruk: ingin mencelakai anaknya. Bukan. Namun, ia ingin mengajari anaknya dengan ’mengalami’ langsung.
Belajar dengan mengalami, mengalami belajar adalah satu praksis dari falsafah pendidikan yang pernah dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara. Bahwa, siapa pun adalah guru, siapa pun adalah murid, dan semua tempat adalah sekolah. Beliau ingin apa yang dialami oleh manusia menjadi konten belajar, dan siapa pun yang ada di sekitar kita adalah guru.
Mengalami adalah satu peristiwa dalam hidup yang bekasnya susah hilang. Semakin banyak pengalaman yang dirasakan kemudian dimuhasabahi dan dievaluasi orang akan semakin bijak dalam menghadapi kehidupan. Ia memiliki banyak alternatif untuk menyelesaikan problem baru dengan acuan data lama. Data lama memang pasti usang, tapi sebagai pijakan ia hanya butuh dikembangkan saja menggunakan data baru dan realitas baru.
Kata Para Ahli Hikmah, ”Sebaik-baik guru adalah pengalaman.” Kita belajar pada diri sendiri dan kita mengajari diri sendiri makna hidup. Orang yang rajin membaca dirinya, ia akan naik kelas lebih cepat. Membaca tidak hanya aspek positifnya saja, namun berani menukik mempersoalkan prinsip hidup yang mungkin saja sudah usang; tidak relevan lagi.
Socrates adalah sosok yang tepat dijadikan prototipe berkenaan dengan belajar dengan mengalami. Ia banyak sekali menanyakan hal-hal kecil dalam hidup ini agar si empunya tau letak ketidaktepatan asumsi-asumsinya. ”Barangsiapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.” Kata Ibnu Athaillah, pengarang buku Al-Hikam; satu kitab rujukan tasawuf atau ilmu akhlak islami.
Alat utama yang dapat digunakan untuk belajar mandiri adalah akal sehat. Kemauan untuk berpikir adalah sarana untuk mencapai tingkat kepribadian lebih tinggi. Jika orang sudah enggan berpikir, apa lagi yang bisa diandalkan? Pengalaman orang lain belum tentu relevan dengan hidup kita. Kitab suci pun saat menerangkan satu nilai ia butuh disesuaikan dengan hidup kita. ”Berpikir itu susah, makanya orang lebih mudah menuduh”, kata Putra Cak Nun, Sabrang.
Materi pelajaran yang bisa diambil cukup banyak. Kita bisa belajar ilmu sosial, ilmu budaya, politik, manajemen, matematika, bahkan dari hal-hal kecil dalam hidup kita. Bukankah di keluarga—lingkup masyarakat terkecil—kita banyak mendapatkan banyak teori pendidikan dan sosial? Justru saat itulah—jika kita belajar dari mengalami—hasil olah pikir-rasa relevansinya sangat akurat, sebab metodenya jelas, objeknya jelas, dan yang pasti ”hidup” di sekitar kita. Tidak hanya di kertas dan ruangan kelas.
Sumber ilmu hari ini sudah terbuka. Orang dapat mengakses sumber data sangat mudah, tinggal mau atau tidak. Tinggal mau belajar menggunakan data itu atau tidak. Data, informasi, wawasan adalah bahan-bahan makanan yang siap dimasak, tapi belum bisa dinikmati.