Hari itu cuaca sangat terik akan matahari. danau danau, sungaipun kering karenanya. semua orang kehausan, kecuali Matu. Matu adalah seseorang kepala suku yang sangat di segani kaumnya. Seperti biasa dia sangat gagah dengan celana yang tebuat dari rangkaian akar bambu penanda seorang yang berpangkat. Setiap manusia di daerah itu menggunakan akar-akaran sebagi pakaian. Baik laki-laki maupun perempuan menggunakannya.Â
Sore hari telah tiba. Kaum yang dipimpin Matu takut akan gelapnya malam, tapi sekali lagi tidak untuk Matu. masih dengan gagah dia menantang matahari yang terbit dan siap menghantarkan malam.
"tuan kami Matu, sudah beberapa hari ini cuaca sangat terik, dan sebentar lagi juga akan malam. Apakah tanggapanmu tentang hal ini?", sorak seorang warga yang sangat kehausan.
"benar ketua Matu, kita belum juga mengetahui apakah besok hari akan tidak seperti ini", Bibi Plung juga bersorak tentang kegelisahannya.
Matu berdiri membelakangi mereka semua dengan tangguh dan kedua tangan di pinggangnya. "kenapa kalian bersuara seperti itu? bukankah sebelumya kita baik-baik saja. setelah menukar makanan pokok kita dari batang bambu menjadi batu", jawab Matu dengan tegas.
"tapi kami tidak bisa makan tanpa air, kami akan tersedak". balas bibi Plung.
"kenapa kalian bingung? tukar saja air dengan pasir".
Semuanya tersentak diam. Mereka semua berpikir dan memandangi satu sama lain. Di lihat dari raut wajah mereka, tampak kegirangan di sana. "mati ketua Matu! semoga ketua Matu cepat mati!", tepuk tangan yang riuh bergemuruh kagum, memuja ketua Matu. "bergegaslah kalian pulang, sebentar lagi malam". Lantang suara Matu. Lalu mereka semua bubar perlahan dengan harapan memenuhi langkah esok mereka. Matu masih berpose membelakangi lapangan dengan kedua tangan di pinggang, tak bergeming.
"kenapa kau menyuruh mereka minum pasir?", tanya Ninut istri Matu.
"ya, karena tidak ada air. pasir adalah pilihan".
"tapi kenapa kau tidak seperti biasanya. berpidato membelakangi semua rakyat. itu tidaklah sopan"