Ungkapan itu yang terlintas saat negeri ini memperigati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada Selasa, 2 Mei 2023. Mengapa? Federasi Serikat Guru Indonesia merilis catatan 3 Dosa Besar Dunia Pendidikan Sepanjang Tahun 2022 pada Januari lalu, dari 19 pelaku kekerasan seksual di dunia pendidikan, 14 orangnya adalah guru, dengan jumlah korban 117 anak (16 orang anak lelaki dan 101 anak perempuan). 14 orang guru yang dimaksud adalah guru pendidikan agama dan pembina ekskul, pembina OSIS, guru musik, guru kelas, guru ngaji, dan lainnya.
Literasi dan moderasi agama rasanya masih belum cukup baik di dunia pendidikan sehingga berkontribusi bagi terjadinya intoleransi. Pelarangan dan pemaksaan pemakaian jilbab yang merupakan simbol kepada pihak lain masih saja terjadi. Ada juga kasus diskriminasi bagi peserta didik dari agama minoritas untuk menjadi ketua OSIS. Terdapat kasus sejumlah peserta didik perempuan yang harus membuka celana dalam untuk membuktikan benar sedang haid/menstruasi karena ada kewajiban melaksanakan sholat dhuha di sekolah. Â
Dalam kasus perundungan berupa bully dan kekerasan fisik terjadi sepanjang 2022. Kematian salah satu santri di Ponpes Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur yang meninggal pada 22 Agustus 2022 karena diduga ada tindak kekerasan oleh kakak kelasnya, siswa salah satu MTs Negeri di Kotamubagu, Sulawesi Utara pada Juni 2022 meninggal diduga mengalami perundungan fisik dari sembilan temannya.
Ada juga seorang santri di salah satu Ponpes di Rembang yang disiram pertalite dan dibakar kakak kelasnya saat sedang tidur, hingga korban mengalami luka bakar parah. Maret 2022, Polres Pasuruan memeriksa 13 saksi terkait kasus dugaan penganiayaan dua pelajar salah satu SMP swasta berasrama. Korban diduga kuat mengalami penganiayaan oleh seniornya hingga mengalami luka cukup parah di punggungnya dan terdapat luka memar bekas pukulan dan sulutan rokok.
Sepanjang 2022, ada murid yang dihukum makan sampah plastik, ada yang dihukum benturkan kepala 100 kali ke tembok, ada yang diusir oleh gurunya dari ruang kelas saat ujian sedang berlangsung karena tidak ikut kegiatan belajar mengajar saat online karena tidak memiliki telepon genggam dan seragam sekolah.
Dilansir dari conveyindonesia.com, menurut hasil survei PPIM tahun 2018, Saiful Umam, Ph.D, Direktur Eksekutif PPIM Jakarta menyatakan bahwa guru di Indonesia mulai dari tingkat TK/RA hingga SMA/MA memiliki opini intoleran dan radikal yang tinggi. "Secara umum, persentasenya sudah di atas 50% guru yang memiliki opini yang intoleran. Sebanyak 46.09% memiliki opini radikal. Sedangkan jika dilihat dari sisi intensi-aksi, walaupun lebih kecil nilainya dari pada opini, namun tetap hasilnya mengkhawatirkan. Sebanyak 37.77% guru intoleran dan 41.26% yang radikal," ujar beliau.
Jika para pendidik memiliki opini intoleran dan radikal, lalu bagaimana nasib para peserta didik? Dimana mereka dikirim untuk belajar dan mendapat pengetahuan serta dididik untuk diberikan pemahaman yang benar oleh seorang guru namun nyatanya justru banyak tenaga pengajar yang memiliki pola pikir intoleran. Ini sungguh disayangkan dikarenakan sosok guru yang diibaratkan orang tua di sekolah yang memiliki peran sangat besar untuk membentuk pola pikir para siswanya justru malah menjadi salah satu sumber tersebarnya pola pikir intoleransi dan radikalisme.
Pola pikir toleransi sudah seharusnya diajarkan kepada siswanya sejak berada di bangku sekolah, hal ini menjadi penting untuk diajarkan mengingat Indonesia memiliki masyarakat yang sangat beragam. Namun pada kenyataannya justru dunia pendidikan menjadi salah satu tempat menyebarnya pola pikir intoleransi.
Diharapkan peran semua pihak terutama orang tua untuk melakukan pengawasan jangan biarkan sekolah menjadi wilayah tak bertuan karena pengawasannya lemah. Orang tua harus berperan aktif melakukan pengamatan terhadap anaknya dan kegiatan-kegiatan di sekolah sehingga jika ada potensi intoleransi dan radikalisme dapat diketahui sejak dini.
Kita berharap peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini mungkin para tenaga pengajar dapat kembali kepada marwahnya sesuai semboyan Ki Hajar Dewantara; Ing Ngarsa Sung Tulada: di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik, Ing Madya Mangun Karsa: di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide, Tut Wuri Handayani: dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan.