Semuanya sepakat, bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk. Negara yang penuh dengan keberagaman. Tidak hanya manusianya, tapi juga latar belakang yang melekat dibelakangnya. Mulai dari agama, bahasa, budaya dan segalanya, dipenuhi dengan keberagaman. Hal ini sebenarnya bukanlah hal yang salah. Karena dari awalnya Indonesia memang sudah seperti ini. Bahkan ketika kita bacara secarah, ketika Islam masuk ke tanah Jawa, kondisi masyarakat ketika itu sudah majemuk. Namun, bukan berarti Islam dilarang masuk. Masyarakat justru bersikap terbuka, sehingga terjadilah akulturasi antara Islam dengan agama dan budaya lain. Dan jejak akulturasi tersebut masih bisa kita lihat hingga saat ini.
Provokasi jelas bukan perkara sederhana. Karena provokasi bisa memicu terjadinya hal-hal yang tidak baik. Karena provokasi bisa memancing terjadinya amarah. Dan jika hal ini disebarluaskan melalui media sosial, tentu akan sangat membahayakan persatuan dan kesatuan negeri ini. Mungkin diantara kita masih ingat aksi pembakaran tempat ibadah di Tanjung Balai, Sumatera Utara beberapa tahun lalu. Semua itu terjadi karena provokasi yang begitu masif dilakukan di media sosial.
Mungkin kita juga masih ingat ketika Pilkada DKI Jakarta beberapa tahun lalu. Masyarakat terbelah menjadi dua. Kelompok mayoritas dan minoritas. Kelompok yang merasa Islami dan tidak. Seseorang yang akan memilih calon dari non muslim, dianggap sesat, kafir dan diancam tidak akan disholatkan ketika meninggal. Bahkan tidak sedikit tempat ibadah yang membentangkan statement ancaman bagi masyarakat yang memilih calon dari non muslim.
Provokasi SARA bukan hal yang baru di Indonesia. Negeri ini pernah punya pengalaman sentiment etnis yang berujung pada penjarahan. Hal ini terjadi pada 1998. Hal ini juga tak lepas dari masifnya provokasi ketika itu. Negeri ini juga pernah mengalami konflik agama di Ambon, tragedi Sampit antara Dayak dan Madura, penyerangan kelompok syiah di Sampang, dan masih banyak lagi tragedi kemanusiaan. Semuanya itu tak bisa dilepaskan dari provokasi yang di tengah masyarakat.
Persoalan SARA memang menjadi isu yang sensitif. Karena itulah, mari hidup berdampingan dalam keberagaman. Tetap saling menghargai adalah keniscayaan yang harus kita jalani semua. Mari tanamkan dalam diri kita semua. Mari berkomitmen untuk tidak menyebarkan provokasi dengan tujuan apapun. Mari pahami dan implementasi kearifan lokal, yang menjadi karakter kita sebagai masyarakat Indonesia. Negeri ini kaya akan nilai-nilai kearifan lokal yang bisa kita adopsi bersama. Dan kearifan lokal tersebut terbukti bisa menyatukan perbedaan. Dan kearifan lokal itu pula yang kemudian diadopsi dalam Pancasila.
Dengan mengedepankan nilai Pancasila dari dalam pikiran dan perilaku, diharapkan tidak ada lagi provokasi yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan. Alangkah indahnya, jika saling menghargai dan menghormati itu ada dalam diri kita semua. Begitu juga di tahun politik seperti sekarang ini, diharapkan juga tidak ada lagi provokasi seperti tahun-tahun sebelumnya. Mari gunakan tahun politik dan pemilu 2024 mendatang, untuk mendapatkan pemimpin yang amanah, yang toleran dan memahami Indonesia. Hal ini penting agar keberagaman yang menjadi ciri khas Indonesia tetap terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H