Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlu Etika Dakwah demi Menjaga Keberagaman

19 Maret 2022   18:26 Diperbarui: 19 Maret 2022   18:32 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perdamaian Indonesia - jalandamai.org

Sebagai makhluk sosial, tentu kita tidak bisa lepas dari interaksi. Proses interaksi ini pun bisa dilakukan dengan siapa saja, tak peduli apa latar belakangnya. Kenapa demikian? Karena manusia pada dasarnya tidak bisa hidup sendiri. Manusia pasti membutuhkan pertolongan orang lain. Karena itulah, dalam interaksi harus dilakukan dengan cara sopan, saling mengerti dan memahami antar sesama, serta tidak boleh merasa paling benar, paling suci, paling kaya, atau perasaan paling yang lain. Pada titik inilah diperlukan etika. Ya, etika dalam berinteraksi menjadi sebuah hal yang wajib dilakukan.

Jika berinteraksi diperlukan etika, dalam berdakwah pun juga harus ada etikanya. Dakwah merupakan bagian dari tradisi masyarakat Indonesia. Dalam ajaran agama apapun terdapat dakwah. Dalam pekerjaan, mengenal konsep ceramah. Dalam dunia pendidikan pun juga mengenal konsep ceramah seperti yang dilakukan tokoh agama di masjid atau di tempat ibadah lainnya. Kini, dakwah atau ceramah bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi. Tak heran mulai banyak bermunculan chanel dakwah atau ceramah, yang dilakukan oleh para tokoh, termasuk tokoh agama.

Persoalannya adalah seringkali kemajuan teknologi ini disalahgunakan, termasuk dalam hal berdakwah. Kecepatan dan kemudahan teknologi digunakan untuk menyebarkan konten-konten yang tidak baik. Sebut saja seperti konten yang mengandung propaganda radikalisme. Tak heran jika banyak sekali pernyataan para penceramah yang viral, bukan karena nilai-nilai positif yang terkandung didalamnya, tapi pernyataan kontroversi yang bisa memicu terjadinya polemik dan konflik.

Bagi para penceramah agama yang sudah terpapar radikalisme, seringkali menggunakan channel di sosial media, untuk mendapatkan perhatian publik. Mereka juga seringkali menebar kebohongan dan mereduksi nilai-nilai agama dalam pemahaman yang sempit. Sudut pandangnya selalu diarahkan pada halal haram, kafir dan sesat. Tapi tidak pernah dilihat bahwa semuanya itu berproses. Yang baik bisa menjadi tidak baik, yang santun bisa menjadi tidak sopan. Atau sebaliknya. Tidak perlu langsung menghakimi, sesat atau kafir. Karena yang berhak melakukan itu pada dasarnya adalah Allah SWT.

Konsep mayoritas minoritas selalu seringkali dimunculkan. Karena mayoritas adalah Islam, maka segalanya harus didasarkan pada hukum Islam. Dakwah semacam ini seringkali kita dengan di media sosial. Karena merasa menjadi bagian dari mayoritas, yang minoritas seringkali diperlakukan secara diskriminatif. Ketika minoritas muncul, dianggap sebagai sebuah ancaman dan harus dicegah. Konsep-konsep semacam ini merupakan bibit dari radikalisme yang tidak boleh terus dibiarkan. Jika dibiarkan, segala sesuatunya akan terus dipersoalkan, disesatkan bahkan dikafirkan.

Presiden Joko Widodo sempat mengingatkan, tidak perlu mengundang penceramah agama yang radikal. Ini artinya masyarakat harus melakukan cek ricek, harus melakukan tracking sebelum mengundang. Bukan bermaksud mendiskreditkan para penceramah, namun karena maraknya propaganda radikalisme melalui oknum penceramah, menjadi penting untuk melakukan pencegahan. Bahkan ada wacana sertifikasi penceramah, agar masyarakat yang ingin belajar agama bisa mendapatkan secara utuh, tanpa harus disusupi bibit radikalisme.

Ingat, Indonesia adalah negara yang sangat kuat dengan keberagamannya. Tidak hanya agama, tapi bahasa, budaya dan adat istiadat yang melekat, menjadi ciri khasnya. Semuanya ini merupakan anugerah dari Allah SWT yang harus kita jaga. Karena itulah, mari kita sebarkan nilai-nilai kearifan lokal yang menjadi identitas kita. Kearifan lokal bisa sinergi dengan agama apapun, jadi tidak usah mempersoalkan keberagaman. Justru paham radikalisme yang terus menyusup ke berbagai lini, termasak dalam setiap dakwah atau ceramah, itu yang harus dipersoalkan. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun