Di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, informasi berkembang begitu pesat. Aktifitas seseorang untuk mendapatkan informasi pun kian mudah. Begitu juga dengan aktifitas menyebarkan informasi, ibaratnya hanya tinggal satu kali klik saja, sudah tersebar hingga ke seluruh penjuru negeri. Dengan perubahan perilaku dan gaya hidup ini, juga turut mempengaruhi tingkat literasi seseorang. Karena pada kenyataannya, budaya baca masyarakat kita masih rendah meski perkembangan informasi sudah begitu pesat.
Karena rendahnya budaya baca itulah, tingkat literasi masyarakat pun juga masih rendah. Akibatnya, banyak masyarakat yang mudah percaya terhadap informasi yang berkembang tanpa melakukan cek ricek terlebih dulu. Akhirnya, informasi seperti hoaks begitu mudah dipercaya oleh orang-orang yang tingkat literasinya rendah. Masyarakat begitu mudah percaya, apalagi jika informasi tersebut dikatakan oleh seorang tokoh publik.
Begitu juga dengan kritik, yang sebetulnya merupakan hal yang lumrah di era demokrasi dan kemajuan teknologi ini. Namun kritik juga harus diimbangi dengan literasi yang cukup. Agar kritik yang dilontarkan tidak bersifat subyektif, tapi bisa seobyektif mungkin agar bisa jadi bahan evaluasi. Namun di era teknologi ini, kritik bisa berubah menjadi delik aduan yang berujung pada dugaan tindak pidana. Kritik juga bisa mengarah pada ujaran kebencian, yang juga bisa jadi pidana jika terbukti melanggara UU ITE. Lantas, apakah kritik masih perlu? Apakah masih ada orang yang berani mengkritik?
Mari kita introspeksi sejenak. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Artinya, interaksi, saling mengenal dan memahami, saling mengingatkan dan tolong menolong semestinya menjadi hal yang biasa. Kritik bagian dari peringatan. Namun kritik tidak boleh disusupkan pesan-pesan kebencian, yang bisa memecah belah kerukunan antar umat yang selama ini telah tercipta.
Dengan literasi yang kuat, kritik tidak akan berisi asumsi atau dugaan. Kritik juga juga tidak bisa didasarkan pada teori. Kadar literasi itulah yang akan membuat seseorang bisa mengkritik atau menerima kritik. Jika kadar literasinya rendah, maka kedua belah pihak berpotensi bisa memicu terjadinya perselisihan. Dan ketika perselisihan itu tidak diselesaikan dengan cara musyarawah, tapi justru berujung pada perilaku intoleran, maka sungguh sangat disayangkan. Karena nilai-nilai kearifan lokal warisan para pendahulu yang telah ada, tidak dimanfaatkan dengan baik.
Sekali lagi, meningkatkan kadar literasi menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa ditinggalkan di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini. Karena kadar literasi akan menentukan bagaimana seseorang tersebut menyikapi setiap informasi yang datang. Cek ricek harus senantiasa dilakukan, sebelum memutuskan informasi tersebut benar atau tidak. Hal yang sama juga perlu dilakukan dalam menyikapi setiap kritik yang ada. Jika kritik tersebut tidak berdasarkan pada data dan fakta, maka tak perlu di kutip dan di dengarkan. Mari kita saling kritik tapi tetap mengedepan kan literasi dan toleransi. Agar kita tetap bisa hidup saling berdampingan dalam keberagaman. Salam toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H