Beberapa kajian mengatakan bahwa kampus pernah dijadikan sebagai tempat penyebaran bibit radikalisme dan intoleransi. Kampus juga pernah ada yang dijadikan tempat deklarasi dukungan kepada khilafah. Tak tanggung-tanggung, dukungan tersebut dilakukan di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Memang kejadian tersebut telah terjadi beberapa tahun lalu. Namun apakah bibit radikalisme benar-benar hilang dari lingkungan kampus?
Mari kita coba renungkan pertanyaan diatas. Bagi para pegiat dunia pendidikan, mari kita introspeksi sejenak. Apakah anak didik, dosesn, dan berbagai aktifitas di dalam kampus benar-benar bersih dari paparan radikalisme? Bisa jadi sudah hilang, bisa jadi justru semakin menguat. Terlebih, paska HTI dibubarkan oleh pemerintah beberapa tahun lalu, kelompok ini terus mencari cara untuk tetap menyusup di lingkungan kampus.
Banyak cara yang sering dilakukan untuk menyusupkan bibit radikalisme. Salah satunya adalah memanfatkan momentum penerimaan mahasiswa baru. Di masa ini, berbagai tawaran muncul. Berbagai ajakan untuk ikut kajian diskusi, ikut organisasi ekstra kampus, untuk ikut aktifitas lain bermunculan. Sasarannya adalah mahasiswa baru. Anak muda yang masih punya semangat berlebih, rasa ingin tahu yang besar dan keinginan untuk mengekslplore diri inilah yang sering menjadi sasaran.
Tidak ada yang salah dengan kampus di Indonesia. Yang salah adalah oknum-oknum yang sering memanfaatkan kampus untuk menyusupkan paham-paham menyesatkan. Untuk itulah para mahasiswa baru juga harus jeli ketika mulai masuk ke kampus. Para rektor, dosen dan seluruh pihak harus bergandengan bersama, untuk mereduksi penyebaran paham radikalisme di lingkungan akademis.
Kampus harus menjadi tempat diskusi yang menyenangkan, mendiskusikan tentang apa saja tapi tetap mengedepankan rasa saling menghormati, menghargai, dan saling memanusiakan. Generasi penerus tidak boleh saling menebar kebencian antar sesama, tidak boleh merasa paling benar, tidak boleh saling mengkafirkan.Â
Generasi penerus di lingkungan kampus harus mendiskusikan dan menciptakan hal-hal yang bisa bermanfaat untuk masyarakat luas. Generasi penerus harus bisa berdampingan dalam keberagaman, bukan mencerai beraikan keragaman yang ada.
Mari terus menyebarkan pesan perdamaian. Alangkah indahnya jika kampus menjadi tempat untuk mendiskusikan apa saja, tapi tidak ada niat untuk menggantikan Pancasila. HTI seringkali menyusupkan konsep khilafah di lingkungan kampus. Pancasila dianggap sesat. Hormat bendera merah putih dianggap sesat. Semuanya dianggap sesat. Hal semacam ini tidak boleh terjadi. Pemahaman semacan ini harus di reduksi bahkan dihilangkan dari pola pikir generasi muda.
Ingat, Tuhan menciptakan Indonesia dengan berbagai macam keragaman yang ada. Tuhan juga menganjurkan kepada kita untuk saling mengenal satu dengan yang lai, agar kita bisa saling memahami, menghargai dan menghormati. Di Indonesia, interaksi ini telah melahirkan budaya gotong royong, tepo seliro, toleransi dan masih banyak lagi nilai-nilai kearifan lokal. Mari tetap menjadi generasi penerus Indonesia, dengan tetap memanusiakan manusia. Salam literasi dan toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H