Banyak pihak berharap usai perhelatan pilpres dan pileg pada 17 April 2019 kemarin, ketegangan di media sosial bisa diredam atau hilang. Namun kenyataannya, usai hari pencoblosan, penyebaran hoaks dan ujaran kebencian masih saja ada. Bahkan frekwensinya juga mengalamai peningkatan.Â
Mabes Polri sempat mengatakan peningkatan penyebaran provokasi di media sosial usai pilpres mencapai 40 persen dibandingkan hari-hari sebelum pilpres. Bahkan, provokasi tersebut sudah berisi ajakan untuk berbuat onar. Dan jika kita lihat hingga saat ini, potensi terjadinya konflik akibat provokasi itu bisa mengkhawatirkan semua pihak.
Dalam beberapa pekan ini, ajakan untuk menggalang massa turun ke jalan semakin intensive. Bahkan istilah people power sengaja dimunculkan, untuk merespon pelaksanaan pemilu yang dinilai tidak jujur. Tokoh-tokoh mulai muncul untuk menggalang dukungan unjuk rasa. Sementara, ada juga tokoh-tokoh yang mulai ditetapkan tersangka, karena dugaan melakukan tindak pidana. Fakta-fakta ini berpotensi dibelokkan, dan masyarakat yang tingkat literasinya tidak jalan, dikhawatirkan akan mendapatkan informasi yang salah dan menjadi korban provokasi.
Mari menjadi pribadi yang cerdas. Jangan mudah terprovokasi informasi yang terkait perkembangan politik. Meski sekarang ini sedang memasuki bulan puasa, kenyataannya ujaran kebencian dan hoaks masih saja terjadi jelang penetapan presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bahkan, aksi unjuk rasa terus berdatangan ke kantor KPU silih berganti. Seruan untuk melakukan turun ke jalan, melakukan people power terus diserukan oleh pihak tertentu. Tak dipungkiri, bagi para pendukung salah satu paslon banyak yang mengikuti, tapi ada juga yang memilih tidak. Bagaimana dengan Anda?
Saat ini, biarkan KPU menyelesaikan tugasnya melakukan penghitungan surat suara dan menetapkan presiden terpilih. Jika memang ditemukan ada kecurangan, silahkan diproses berdasarkan hukum yang berlaku. Tidak perlu saling menebar kebencian antar sesama. Apalagi melakukan dugaan makar, seperti yang muncul dalam pemberitaan akhir-akhir ini. Sejumlah tokoh ditetapkan kepolisian sebagai tersangka makar, karena pernyataannya yang mengandung provokasi. Praktek provokasi ini tidak hanya terjadi di dunia nyata, tapi juga terjadi di dunia maya, yang berpotensi membuat banyak masyarakat menjadi korban provokasi.
Mari kita jadikan bulan Ramadan ini sebagai bulan introspeksi. Mari saling mengendalikan hawa nafsu dan emosi. Ingat, bulan Ramadan tidak hanya puasa dari makan dan minum, tapi juga harus diimbangi dengan banyak melakukan perbuatan baik. Ramadan tidak boleh diisi dengan perilaku dan ucapan yang bisa memicu terjadinya perpecahan. Semestinya kita bisa belajar dari sejarah.Â
Betap mengerikan jika provokasi terus dibiarkan. Betapa mengerikan jika hoaks dan hate speech terus dibiarkan. Banyak kasus kerusuhan yang terjadi akibat hoaks dan kebencian ini. Kalau sudah begini, kita sendiri yang akan dirugikan. Sementara elit politik yang mempunyai kepentingan dibelakang ini semua, akan mendapatkan keuntungannya. Karena itu, mari menjadi pribadi yang cerdas. Jika terjadi perbedaan, saatnya rekonsiliasi. Ramadan merupakan momentum yang tepat untuk melakukan rekonsiliasi, dibandingkan menebar provokasi. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H