Pemilihan kepala daerah secara serentak di 171 daerah telah berlalu. Hasil versi hitung cepat telah keluar. Dan siapa yang menjadi pemenang pun sudah terlihat, meski harus tetap menunggu hasil real count dari komisi pemilihan umum (KPU). Semua pihak diharapkan siap menghadapi kekalahan. Begitu juga paslon yang unggul, juga harus siap menghadapi kemenangan. Jangan merasa besar kepala, dan juga jangan merasa dicurangi. Jika memang ada kecurangan, biarlah badan pengawas pemilu (bawaslu) yang memberikan sanksi. Masyarakat tidak berwenang melakukan penghakiman, terhadap dugaan pelanggaran pemilu.
Kenapa hal ini penting? Karena sebelum pelaksanaan pilkada, ujaran kebencian begitu massif terjadi. Timses sibuk menggerakkan buzzer, untuk saling menjatuhkan pasangan calon. Hal semacam ini dilakukan agar paslon yang didukung bisa terpilih dan menang dalam pertarungan pilkada. Akibat terjadinya provokasi ujaran kebencian ini, tidak sedikit dari masyarakat yang menjadi korban.Â
Mari kita belajar dari pilkada DKI. Ketika ujaran kebencian begitu massif terjadi sebelum pelaksanaan pilkada, setelah selesai pilkada tidak ada lagi ujaran kebencian. Antar pendukung dan timses sudah move on, melupakan segala bentuk pertarungan sebelum pilkada. Semua pihak yang mempunyai latar belakang yang berbeda, memberikan dukungan terhadap pemimpin yang terpilih. Sikap semacam inilah yang akan menguatkan demokratrisasi di negeri ini. Karena pilkada diharapkan bisa melahirkan pemimpin yang terbaik, yang jujur, bertanggung jawab, dan mampu melahirkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan publik.
Jika semua pihak bisa legowo menerima kekalahan, dan yang menang bisa bijak dalam menyikapi kemenangan tersebut, yang terjadi adalah rasa saling menghormati dan menghargai. Begitu juga dengan pemimpin yang terpilih, juga harus mampu merangkul keberagaman. Karena sejatinya paslon yang terpilih bukanlah pemimpin bagi kelompoknya saja, tapi menjadi pemimpin bagi masyarakat banyak. Pemimpin terpilih harus bisa bersikap secara adil, mampu menjadi pendengar, dan tidak boleh merasa paling benar sendiri. Karena pemimpin itu lahir dari hasil proses demokrasi, maka kebijakan yang lahir dari pemimpin harus memberikan manfaat bagi masyarakat.
Ingat, Indonesia adalah negara yang santun, yang tidak pernah mencaci kepada pihak yang berbeda. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang ramah, bukan masyarakat yang mudah marah. Karena itulah, semestinya tidak lagi ada amarah setelah perhelatan pilkada. Mari kita saling bergandengan tangan, untuk menyongsong pesta demokrasi di tahun 2019 mendatang, yaitu pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.
Jika kita semua bisa melakukan hal tersebut, betapa indahnya negeri ini. Dan pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan legislatif yang akan terjadi, diharapkan bisa melahirkan pemimpin yang benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat. Jika setelah pilkada serentak ini masih ada caci maki, dan ujaran kebencian, dikhwatirkan akan berdampak pada pesta demokrasi di tahun 2019 mendatang. Mari kita jaga negeri yang indah ini, dari segala ancaman, caci maki dan ujaran kebencian, agar toleransi dan kerukunan di negeri ini tetap terjaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H