Mohon tunggu...
Ahmad Ricky Perdana
Ahmad Ricky Perdana Mohon Tunggu... Wiraswasta - gemar travelling, fotografi dan menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

seringkali mengabadikan segala hal dalam bentuk foto dan tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Agama dan Budaya Indonesia Mengajarkan Saling Memaafkan

13 April 2018   22:07 Diperbarui: 13 April 2018   22:36 1374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saling Memaafkan - jalandamai.org

Sadar atau tidak sadar, kita sudah diajarkan untuk saling memaafkan sedari kecil. Ketika kita melakukan kesalahan, orang tua selalu meminta kita meminta maaf. Tradisi ini kemudian juga dibawa dan diajarkan di bangku pendidikan, mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Dengan meminta maaf, kita diajarkan menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Jika kita melakukan kesalahan, maka kita harus bertanggung jawab mengakui kesalahan dan meminta maaf. Meminta maaf juga mengajarkan kita untuk meninggalkan sifat dendam dan sakit hati.

Karena sifat tersebut tidak ada gunanya jika terus disimpan dalam hati. Karena itu pula, tradisi meminta maaf dan memberikan maaf ini, juga seringkali dilakukan oleh umat muslim ketika hari raya idul fitri.

Entah kenapa sebagian masyarakat begitu mudah marah ketika sentiman agama dihembuskan. Tanpa memastikan kebenarannya, langsung saja marah dan melakukan tindakan intoleran.

Pidato Sukmawati memicu kemarahan sebagian orang. Meski sudah meminta maaf, kelompok yang mengatasnamakan agama itu tetap ingin memenjarakan Sukma, karena dianggap menistakan agama. Mari kita kembali belajar memaafkan.

Banyak contoh lagi, ketika sentimen agama yang belum jelas kebenarannya dimunculkan, selalu langsung direspon dengan marah. Ketika beredar foto calon gubernur Jawa Tengah Ganjor Pranowo dengan kutipan puisi yang juga dianggap menistakan agama. Pihak yang menilai itu sebagai penistaan pun merencanakan akan melaporkan politisi PDI P tersebut ke polisi.

Namun upaya tersebut batal, setelah tahu bahwa puisi tersebut ternyata karya Gus Mus. Mari kita bisa membedakan puisi sebagai karya sastra, dan puisi yang mengandung penistaan agama. Mari gunakan logika. Kerukunan yang selama ini terjalin dengan baik, terancam hancur hanya karena sentimen SARA yang dimunculkan oleh masyarakat sendiri.

MUI sendiri telah meminta kepada seluruh umat Islam, untuk menghentikan perdebatan dan kontroversi terkait puisi Sukmawati. Bahkan ketua MUI KH Ma'ruf Amin meminta kepada seluruh umat Islam, untuk memaafkan Sukma yang telah meminta maaf tersebut.

Namun, sebagian pihak justru tidak meresponnya dan balik melontarkan cacian dan makian. Entah sengaja dimunculkan atau tidak, cacian ini pun akan berpotensi membuat antar masyarakat bawah saling berseteru.

Disaat Indonesia memasuki tahun politik, cacian dan makian ini dikhawatirkan akan terus bermunculan dan semakin menguat. Saat pilkada ini saja, ujaran kebencian masih saja ada. Jika dulu ada organisasi Saracen, lalu kemarin muncul lagi MCA yang sengaja memproduksi hate speech dan disebarluaskan ke masyarakat, tidak menutup kemungkinan organisasi serupa akan kembali muncul jelang pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2019.

Sekali lagi, tidak ada gunanya saling mencaci. Marilah menjadi seorang Indonesia, yang sangat menjunjung tinggi agama dan budaya. Karena agama dan budaya, merupakan karakter dari negera yang sangat mengedepankan toleransi ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun