Saat ini, sebagian dari generasi muda kita yang telah terpapar ideologi radikalisme sejak di bangu SMA dan berlanjut ke perguruan tinggi. Umumnya, kelompok ini memang selalu kritis, apalagi kalau sudah menginjak di bangku perguruan tinggi. Sayangnya, sikap kritisnya ini didasari oleh ideologi yang salah. Misalnya, kebijakan pemerintah kampanye anti radikalisme, dianggap sebagai upaya memerangi kelompok muslim. Anggapan ini tentu saja tidak benar. Mari kita pakai logika. Mayoritas penduduk Indonesia beragaman muslim. Apa dasar pemerintah memerangi masyarakat muslim? Jika kelompok radikal diperangi, tentu ada yang salah.
Beberapa waktu lalu, pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Â Organisasi ini dianggap menyimpang dan tidak sesuai dengan ajaran Pancasila, karena mengusung ideologi khilafah. Padahal konsep khilafah ini, tidak mengakui pihak-pihak diluar kelompoknya sebagai pihak yang sejajar. Bahkan, perbedaan dianggap sebagai sumber persoalan. Dan pihak yang berbeda agama, dianggap sebagai pihak yang salah.Â
Bagaimana dengan anak kecil yang lahir dari orang tua Kristen, hindu, budha atau konghucu? APakah mereka selalu dianggap sebagai pihak yang salah. Lalu, anak yang lahir dari seorang muslim apakah selalu dianggap benar? Ingat, kita tinggal di negara yang bernama Indonesia. Di negara ini, semua orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada hukum mayoritas minoritas. Yang ada adalah toleransi, saling menghargai keberagaman.
Karena ideologi khilafah inilah, sebagian generasi muda kita menjadi generasi yang salah arah. Mereka menggebu-gebu merasa sedang berjuang menegakkan kebenaran. Pancasila yang jelas-jelas mengakomodir berbagai kepentingan, justru dianggap sebagai thogut. Karena dihasilkan oleh pemerintah yang mengedepankan demokrasi. Sementara demokrasi itu dipandang sebagai produk barat, yang juga dianggap thogut. Dampak dari label thogut dan kafir ini, mereka merasa paling benar sendiri, dan merasa punya free pass untuk mengatur orang lain. Akhirnya, muncullah provokasi, ujaran kebencian, persekusi, dan tindakan intoleran lain.
Semangat yang salah itu harus diluruskan dan jangan terus dibiarkan. Karena jika itu dibiarkan, akan semakin banyak generasi radikal, yang bisanya hanya menebar kebencian, dan melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Meski jumlah kelompok ini masih relative kecil, tapi tidak bisa didiamkan. Karena mereka berusaha menduduki posisi penting, untuk mendapatkan pengaruh. Tak heran jika mulai dari mahasiswa hingga dosen, dari pekerja biasa hingga pegawai negeri sipil, ada yang terpapar virus radikalisme ini. Generasi muda, tidak boleh terpapar virus yang membahayakan ini. Untuk itu anak muda harus mempunyai benteng yang kuat. Yaitu Pancasila dan agama.
Semangat kawula muda, harus diarahkan pada hal-hal yang memberi manfaat. Mari kita meneladani  bagaimana semangat Dr Soetomo ketika mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Mari kita lihat bagaimana semangat Soekarno, Hatta, dan banyak tokoh muda lain dalam menyiapkan kemerdekaan.
 Mari kita juga teladani bagaimana semangat Bung Tomo yang berpadu jihad para santri dalam pertempuran 10 November. Semangat generasi pendahulu, harus terus dipertahankan hingga era modern seperti sekarang ini. Anak muda tidak boleh menjadi pribadi yang lemah, yang hanya suka bermain game atau gadget. Generasi milenial juga harus mewarisi semangat saling berbagi, saling menghargai dan saling tolong menolong. Jika kita melakukan ini semaua, niscaya radikalisme dan terorisme akan sulit berkembang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H