Oleh : Rendra (Dapur Budaya HSS- TACB Kab.HSS)Â
Memasuki abad 20 adalah fase baru bagi kawasan "nusantara" yang berada dalam wilayah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Perubahan kebijakan oleh pemerintah kolonial cukup berpengaruh bagi daerah dan masyarakat.Â
Revolusi Industri juga secara tidak langsung mendorong perubahan di berbagai sektor termasuk sektor perekonomian ditambah lagi dengan kebijakan "Politik Etis" yang telah digagas oleh Ratu Belanda dimana pada masanya  menjadi salah satu pola penentu alur dari perubahan yang terjadi.
Daerah Kalimantan Selatan sepeninggal pemerintahan feodal Kerajaan Banjar yang telah dihapuskan oleh Belanda pada abad 19 tepatnya di tahun 1860 masehi menjadi daerah yang benar-benar baru dengan sistem birokrasi yang baru pula.Â
Kalimantan Selatan menjadi ibukota dari Residensi Timur dan Selatan Borneo (wilayahnya sekarang meliputi  Kalimantan bagian Selatan, Timur dan Tengah) hal unik yang membedakan saat itu jika di Kalimantan Timur masih dipertahankan agar tetap dengan pemerintahan yang bergaya feodal sedangkan di Kalimantan Selatan sistem pemerintahan benar-benar baru sehingga memberi keleluasaan "masyarakat umum" non bangsawan ikut andil dalam birokrasi pemerintahan, situasi ini tentu mendorong ledakan perekonomian menuju era yang baru di seluruh kawasan Residensi Selatan dan Timur Borneo.
Banjar Hulu merujuk pada masyarakat sub-etnik Banjar Pahuluan dan Batang Banyu yang mendiami wilayah hulu dari aliran Sungai Bahan (Sungai Nagara). Mereka adalah keturunan penduduk  kawasan kuno di Kalimantan Selatan. Daerah mereka sangat subur dan kaya akan komoditi alam yang bernilai tinggi. Selain itu kawasan Hulu Sungai merupakan kawasan yang strategis yaitu pertemuan dari wilayah-wilayah pedalaman Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur.
Perbedaan penerapan kebijakan di wilayah Jawa dengan Kalimantan cukup mencolok, dimana Culturesteel atau sistem tanam paksa tidak pernah benar-benar terjadi di Kalimantan Selatan (Sejarah Banjar : 2003). Terkait hal itu pada pertengahan dan penghujung abad ke 19 wilayah ini masih diwarnai oleh serangkaian konflik yang berlarut-larut antara pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan masyarakat terutama penduduk Hulu Sungai.
Penduduk kawasan Hulu Sungai dikenal cukup keras, mereka juga adaptif memiliki ciri yang khas dari segi karakter prilaku umum, logat/aksen serta kemampuan umum.Â
Mereka adalah masyarakat yang mengobarkan perang Banjar yang meletus tahun 1859. Seiring berjalanannya waktu masyarakat Banjar Hulu yang sangat adaptif ini menyesuaikan sikap mereka dengan dinamika yang terjadi saat itu. perubahan yang signifikan terjadi terutama dari sektor Industri. Para investor dan perusahan-perusahan asing mulai "melirik" potensi kekayaan alam Kalimantan yang melimpah.Â
Perusahan-perusahan asing mulai mendirikan usahanya di Kalimantan Selatan. Kantor Nederlands Handel Maatschappij (NHM) yang sudah berdiri sejak tahun 1840 diambil alih oleh J.W Schlimmer pada tahun 1883 dan memulai perusahaan ini dengan nama Borneo-Sumatera-Maatschappij (Borsumij) yang lambat laun tumbuh menjadi perusahaan termasyhur di Kalimantan Selatan mengiringi peningkatan industri dan perdagangan yang pesat diwilayah Hulu Sungai.