Oleh : Rendra, S.Kom
Model kolonialisme yang di jalankan oleh Belanda menjelang abad 20 mengalami perubahan yang menarik. Pasca dilantilknya Ratu Wilhelmina menjadi Penguasa Kerajaan Belanda, ia mengusung sebuah kebijakan politik balas jasa yang lebih mengedepankan tanggung jawab moral kepada penduduk pribumi di Hindia Belanda (Indonesia). Kebijakan itu kita kenal dengan istilah "Politik Etis" yang kita kenal dengan programnya : Edukasi, Irigasi dan Imigrasi.
Kebijkan Politik Etis dan imbas revolusi industri mendorong perubahan di berbagai sektor termasuk sektor perekonomian disamping itu pola pemerintahan yang berubah total di Kalimantan Selatan pasca di hapuskannya Kesultanan Banjar tahun 1860 membawa Kalimantan Selatan menjadi daerah yang benar-benar baru dari segi tatanan birokrasi dan social-masyarakatnya.
Dalam kontelasi ini bagaimana penduduk Kalimantan Selatan khususnya masyrakat Hulu Sungai dalam menyikapi dinamika perubahan yang terjadi.
Banjar Hulu (Hulu Sungai) merujuk pada masyarakat sub-etnik Banjar Pahuluan dan Banjar Batang Banyu yang mendiami wilayah hulu dari Sungai Bahan (Sungai Nagara). Mereka adalah keturunan penduduk kawasan kuno di Kalimantan Selatan. Wilayah mereka sangat subur dan kaya akan komoditi alam yang bernilai tinggi. Selain itu daerah Hulu Sungai merupakan kawasan yang strategis yaitu pertemuan dari wilayah-wilayah pedalaman Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur. Penduduk Hulu Sungai dikenal keras, mereka adalah motor penggerak "Perang Banjar" yang amat dahsyat di periode 1859-1865 mereka juga turut andil besar dalam memimpin "pemberontakan" (bersama keturunan Pangeran Antasari) melawan tentara kolonial Belanda di kawasan pedalaman "Barito Hulu". Pemerintah kolonial berusaha meminimalisir konflik yang berlarut-larut terhadap mereka, konflik yang tak berkesudahan hanya mendatangkan kerugian yang besar dan biaya perang yag juga tidak murah.
Namun pernah terjadi suatu tragedi berdarah yang ditenggarai oleh sebuah konflik agraria yang berawal dari ketidakpuasan atas sistem upah kerja pada pembuatan kanal-kanal pengairan untuk irigasi  dan berangkat dari merasa dilecehkan oleh sistem kerja rodi yang dilakukan secara "paksa" oleh pemerintah kolonial dan pada gilirannya hal tersebut menimbulkan protes masyarakat yang dimotori oleh para petani, buruh, ulama, dan tokoh desa. Peristiwa ini kemudian pecah menjadi konflik berdarah yang kemudian dikenal dengan sebutan tragedi Hamuk Hantarukung terjadi pada tahun 1899 di kampung Hantarukung - Distrik Amandit, pertikaian tersebut menewaskan beberapa pejabat kolonial termasuk seorang Countroler Belanda. Untuk menyelesaikan konflik itu pemerintah kolonial terpaksa menerjunkan dua regu pasukan pribumi yang dipimpin oleh putra daerah dari Distrik Amandit itu sendiri untuk penumpas gerakan pemberontakan rakyat.
Epilog
Awal abad ke-20 menjadi masa peralihan yang krusial bagi tanah jajahan. Pemerintah kolonial justru ingin meminimalisir konflik dengan masyarakat. Namun dalam hal lain praktek kebijakan politik etis yang diharap lebih mengedepankan tanggung jawab moral kepada penduduk pribumi malah sebaliknya di terapkan oleh pemerintah di Hindia Belanda. Politik garis warna yang diwujudkan dalam bentuk diskriminasi terhadap golongan bumiputera, seperti menerapkan politik penindasan berupa kerja rodi (kerja erakan), uang erakan dan pajak yang memberatkan rakyat. Hasil dari kerja rodi, uang erakan dan pajak digunakan pemerintah kolonial sebagai sumber pemasukan bagi pemerintahan daerah. Kerja rodi dapat dikenakan kepada setiap orang, kecuali golongan pangreh praja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H