Mohon tunggu...
Ahmad Ramdani
Ahmad Ramdani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Politeknik Statistika STIS

Data Scientist

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Paradoks DIY : Termiskin di Pulau Jawa, Tapi Warganya Paling Bahagia?

13 Januari 2025   09:33 Diperbarui: 13 Januari 2025   10:22 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Tugu Jogja (Sumber: https://id.pinterest.com/mazdarwan66/)

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dikenal sebagai pusat budaya dan pendidikan di Indonesia, dengan pesona wisata yang memikat jutaan wisatawan setiap tahunnya. Berdasarkan Berita Resmi Statistik (BRS) yang yang dipublikasikan oleh BPS Provinsi DIY, jumlah kunjungan Wisman Januari-Mei 2024 tercatat sebanyak 43.063 kunjungan. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 38,76% terhadap Mei 2023.

Namun, di balik citra istimewanya, DIY menyimpan fakta yang mengejutkan: provinsi ini mencatat tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Jawa. Ironisnya, meskipun secara ekonomi banyak warganya hidup di bawah garis kemiskinan, indeks kebahagiaan DIY justru berada di angka yang paling tinggi di Pulau Jawa. Hal ini menimbulkan paradoks kebahagiaan dalam kemiskinan. Sehingga fenomena ini memunculkan pertanyaan besar, bagaimana warga DIY bisa tetap merasa bahagia di tengah keterbatasan ekonomi? Artikel ini akan mengulas lebih dalam tentang paradoks unik yang mencerminkan kompleksitas kehidupan di tanah istimewa ini.

Pada tanggal 1 Juli 2024, BPS Provinsi DIY merilis Profil Kemiskinan D.I. Yogyakarta Maret 2024. Berdasarkan publikasi tersebut persentase penduduk miskin pada bulan Maret 2024 sebesar 10,83 persen turun 0,21 poin persen dibandingkan Maret 2023, dan turun 0,66 poin persen dibandingkan September 2022. Selain itu, jumlah penduduk miskin pada Maret 2024 sebanyak 445,55 ribu orang dan turun 2,9 ribu orang terhadap Maret 2023. Apabila dibandingkan September 2022, jumlah penduduk miskin Maret 2024 turun 18,1 ribu orang. Penurunan tersebut menunjukkan adanya keberhasilan pemerintah Provinsi DIY dalam mengentaskan kemiskinan masyarakatnya walaupun secara peringkat di Pulau Jawa, provinsi ini tetap menjadi yang tertinggi dibandingkan provinsi lainnya.

Di tengah gempuran kemiskinan yang masih stagnan, terdapat plot twist yang sangat mengejutkan di tahun ini. Berdasarkan publikasi data dari BPS Provinsi DIY, didapatkan bahwa di tahun 2024 Provinsi DIY memiliki Indeks Kebahagiaan sebesar 70,77%. Angka ini berhasil mengantarkan Provinsi DIY menduduki urutan pertama sebagai provinsi dengan Indeks Kebahagiaan tertinggi di Pulau Jawa.

Fenomena ini menarik perhatian karena menunjukkan bahwa kebahagiaan masyarakat tidak semata-mata ditentukan oleh tingkat kemakmuran ekonomi. Berdasarkan publikasi Indeks Kebahagiaan Indonesia 2021 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kebahagiaan seseorang dipengaruhi oleh tiga dimensi utama, yaitu kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia). Dalam konteks Provinsi DIY, dimensi makna hidup dan kepuasan terhadap hubungan sosial mungkin memiliki pengaruh yang dominan. Tradisi budaya yang kuat, nilai gotong-royong, dan rasa kekeluargaan yang terjalin erat di masyarakat Yogyakarta menjadi landasan utama terciptanya kebahagiaan, meskipun tingkat kemiskinan tinggi. Selain itu, DIY dikenal sebagai daerah yang kaya akan keindahan alam dan budaya. Kehidupan di lingkungan yang asri dan minim polusi, dengan keberadaan situs-situs budaya seperti Keraton Yogyakarta, Candi Prambanan, dan aktivitas seni tradisional, memberikan warga perasaan nyaman dan bangga terhadap identitas mereka.

Fenomena kebahagiaan di tengah kemiskinan yang dialami masyarakat DIY mencerminkan kompleksitas nilai kehidupan yang tidak semata-mata bergantung pada kondisi ekonomi. Dalam budaya Jawa, terdapat prinsip nrimo ing pandum, yang berarti menerima dengan ikhlas apa yang telah diberikan oleh Tuhan. Prinsip ini mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari rasa syukur, keseimbangan, dan kesederhanaan dalam menjalani hidup. Masyarakat Yogyakarta, dengan kuatnya akar budaya dan spiritualitas mereka, menjadikan nilai ini sebagai fondasi dalam menghadapi tantangan hidup. Paradoks ini tidak hanya menjadi cerminan daya tahan sosial masyarakat DIY, tetapi juga pengingat bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu diukur oleh materi, melainkan oleh harmoni antara manusia, alam, dan budaya. Dengan memahami fenomena ini, kita diajak untuk melihat kebahagiaan dari perspektif yang lebih luas, menempatkan nilai-nilai non-material sebagai bagian penting dalam membangun kehidupan yang bermakna.

Artikel ini ditulis oleh : Ahmad Ramdani, Asyifa Choirunnisa, Miftah Aulia Ramadanti (Mahasiswa Politeknik Statistika STIS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun