Mohon tunggu...
Ahmad Ramdani Official
Ahmad Ramdani Official Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

"Jadikan buah pikiranmu, adalah karya terhebatmu untuk Dunia!!"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perspektif Remaja, dan Pola Hidupnya

25 Mei 2023   22:31 Diperbarui: 25 Mei 2023   22:35 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebahagiaan dan berkat terbesar daripada karunia Tuhan, khususnya kita sebagai sepasang sejoli (suami-istri) yang selalu ingin, dan kita damba-dambakan agar senantiasa mengalaminya; adalah tentunya diamanahi keturunan atau lebih tepatnya kehadiran seorang Anak.

Sebab, bila hanya dengan hadirnya anak-anak dalam kehidupan rumah tangga-lah, kita selaku orang-tua menyadari tentang hakikat kehidupan yang sesungguhnya. Hakikat untuk mengasihi, menyayangi, mengayomi, mendidik, merawat, dan juga membesarkan. Seperti halnya Dia Yang Maha Kuasa, yang selalu memancarkan kasih dan rahmatNya, pada kita pastinya selaku hamba.

Atas dasar persepsi itulah; didalam rangka Orang-Tua menjalankan kedudukan, tugas, dan fungsi hal tersebut, Kami mencoba untuk memaparkan gaya-gaya hidup yang biasa dilakukan para anak-anak, terkhusus tatkala usia remaja sudah mulai menginjaknya.

Para sahabat, Kita tentu berharap dan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk menjadikan Anak-anak kita agar dapat tumbuh menjadi individu-individu yang berguna untuk masa depan. Kata lain daripada istilah "berguna" tersebut, adalah "Ultimate-Gold" atau "Masa depan yang cerah" pastinya. Bisa juga diistilahkan menjadi "Generasi Emas" dan asumsi-asumsi terpuji lainnya.

Impian ini, normal dimiliki seluruh Orang-Tua di seluruh Dunia, yang memang sangat mencintai anak-anaknya. Terlebih lagi, manakala kehadirannya tergenapi tatkala usia lanjut, sudah menyertai kita.

Ambillah salah satu contoh pada diri seorang Nabi Ibrahim. Menilik sejarahnya, Nabi Ibrahim dikaruniakan anak bernama "Ismail" kala usia Beliau sudah menginjak 86 tahun. Kemudian anak keduanya yaitu "Ishak" yang terlahir ketika usianya genap 100 tahun.

Maka dari besitan-besitan pada benak pikir perihal tersebut, lantas membuat kita para Orang-Tua lalu menjadi agak egaliter dalam mengayomi Anak didalam rumah. Dan juga di satu sisi, pendidikan formalitas sontak menjadi semacam tolak ukur yang kita jadikan sumber harapan tadi.

Oleh karenanya, disinilah asbabun nuzul sesungguhnya terkait proses-proses perkembangan yang "berawal" atau paling "fundamental" akan aksioma ini. Seperti yang sudah diketahui, tingkat kenakalan para pemuda atau remaja pada akhirnya tidak kunjung menurun secara perbuatan.

Fenomena ini jamak dan kita dapat menjumpainya dimana-mana. Tetapi kami, sungguh merasa sangat ironis. Mengapa? Karena Orang-orang khususnya kita selaku Orang-Tua, hanya mampu untuk megkritiknya saja tanpa ada sedikitpun kerja keras menyelamatkan mereka dari keterpurukan ini.

Suatu waktu, ada seseorang yang pernah berkata kepada kami. "Gak papa, gak masalah nakal. Nakal muda itu "Lebih Baik" dibanding nanti pas dirimu nakal ketika Usia Tua." Para sahabat pastinya sudah dapat membayangkan betapa buruknya kalimat atau paradigma tersebut.

Akan tetapi, cobalah untuk berusaha meresapinya sejenak. Bagaimana justru orang tersebut berbicara tatkala Para Sahabat sedang bertatap-muka atau tengah bersama dengannya? Apakah lalu kita akan setuju, dengan menanggapi statement tadi melalui canda tawa atau dengan kata "Iya benar, masuk akal..!!"

Dari awal saja, Kita para Orang-Tua lantas tidak pernah merasa keberatan dan menganggap kenakalan para remaja yang merupakan Anak-anak kita tersebut, sebagai suatu kewajaran saja. Perihal ini, kami pernah menyinggungnya dalam artikel "Homo Homini Lupus est."

Lingkungan dimana kita hidup saat ini, memang sangat berbahaya untuk keberlangsungan moral hidup individu itu sendiri kedepan. Oleh karenanya, cobalah untuk memaksimalkan akal pikir setelah menganalisa saat ini, kemudian memikirkan kehidupan yang berlangsung untuk kedepannya.

Sebab, sikap tauladan para Nabi dan Rasul, pada kisah-kisah Beliau yang sudah berlalu, sesungguhnya telah paripurna mencatat setitik demi setitik norma-norma kehidupan diatas muka bumi dalam mushaf Kitab suci. Apa tujuannya? Otomatis kan itu saja yang lalu kita pahami.

Tidak ada gunanya, apabila kedatangan Para Nabi dan Rasul yang diutus di setiap zaman sebagai manifestasi kehadiran Tuhan di muka bumi, kalau kita justru abai dan tidak pernah punya keinginan untuk belajar meng-aktualisasikan sikap-sikap karakterNya tersebut.

****

Zaman yang batil, para sahabat sesungguhnya bisa merasakan dengan begitu terang benderang panoramanya.

Apabila upaya seseorang selalu berpartisipasi mengajak kepada sebuah dimensi kesalahan. Inilah realitas mutlak akan hal tersebut. Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Inilah yang kemudian kami coba untuk paparkan.

Kita tentu pertama-tama harus mencoba keluar dari gaya pola pikir, terutama yang merujuk kepada sandaran suatu harapan kita bersama. Dalam hal pendidikan misalnya, kewajiban Orang-Tua adalah menyekolahkan sang Anak.

Tetapi jangan semata-mata, kita lalu mengharapkan keutuhan seluruhnya pada sikap pendidikan formal, terhadap moral karakteristiknya beserta pemahaman spiritualitasnya. Kalau persepsi ini masih menggerogoti kesadaran Kita, maka jangan harap impian Kita tadi akan tercapai.

Guru-guru di sekolah, maupun ranah universitas yaitu para Dosen atau Rektor; tugasnya hanyalah mendidik pada kurikulum akademisnya saja. Itu pertama yang harus kita sadari. Otomatis, sudah pasti dari sisi pergaulan, perbuatan tersebut akan luput dari kontrol mereka, para tenaga-tenaga didik.

Para Remaja atau pemuda, bisa secara terang-terangan berkata-kata kasar terhadap sesamanya, karena tentu mereka berpikir bahwa hal yang demikian bukanlah merupakan sesuatu yang salah.

Memanggil atau berkata kasar terhadap sesama temannya, itu adalah suatu kebaikan. Dan terhadap objek yang dipanggil atau diajak berbicara pun, tidak merasakan keberatan sama sekali.

Pemikiran ini mengapa terjadi? Itukan sebetulnya hanya menduga-duga saja. Bagaimana jikalau objek temannya itu merasa sedih atau merasa "terbully," dan dia tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya?

Sebab manakala dia mengatakan suatu keberatan, teman-temannya sudah dengan siap dan ringan tangan, akan menghajar teman tadi secara brutal. Kalaupun itu tidak dilakukan, predikat "tidak setia kawan" atau bisa juga "orang ketinggalan jaman" disematkan padanya. Sehingga lama-kelamaan, menjadi suatu tabiat atau perilaku yang wajar.

Apakah ini bukan sesuatu yang memalukan peradaban? Dimana sikap etisnya? Sudah pasti jawabannya adalah tidak ada sama sekali.

Anehnya, para remaja malah-malah merasa senang dan merasakan suatu kebahagiaan paling terbesar sepanjang hidupnya, yang kelak menjelmakan kenangan terindah dalam pikirnya, akan paradigma persahabatan semacam ini.

Kemudian pada satu sekolah, sebut saja SMP atau SMA (baiklah, tidak terkecuali Sekolah Dasar sekalipun). Para anak-anak atau remaja itu membuat perkumpulan-perkumpulan geng-gengnya.

Uniknya, setiap geng tersebut memiliki anggota yang berbeda-beda, tetapi masih dalam satu lembaga naungan sekolah formalitas yang sama.

Ini baru dalam skala kecil, pikirkan jikalau yang kecil ini menjelma menjadi sesuatu yang besar? Terutama bila kita menyandingkannya pada hal-hal yang bersifat dunia per-politikan? Kita tentu akan mendapat kesimpulan, bahwa pasti akan terjadi perpecahan dalam kubu bangsa itu sendiri.

Sahabat mungkin ber-prinsip untuk jangan disamakan. Kalau begitu, berarti kita meyakini suatu ke-abadian hidup, yang kita sendiri tidak pernah jumpai. Remaja adalah generasi-generasi penerus tongkat estafeta peradaban Dunia. Mengapa? Karena kita selaku Orang-Tuanya akan pergi seiring dengan berjalannya waktu.

Tidak ada yang abadi di Dunia. Kalau ketika sa'ah (waktu) atau ajal memanggil Kita telah tiba, bagaimana lantas dengan keberlangsungan hidup kedepannya? Sementara saat ini para generasi remaja, kita tinggalkan dalam kondisi yang lemah secara moral dan spiritual.

Generasi lemah adalah generasi "Buih." Dan, bukti dari kelemahan tersebut bisa kita lihat dari hedonisme para remaja; adanya tawuran, sifat bersenang-senang (dugem, mabuk, narkotika). Perbuatan itu sendiri merupakan awal mula suatu kerusakan yang selanjutnya akan menghampiri.

Para remaja memang tidak secara kebanyakan melakukan hal-hal keji tersebut. Namun, pola pikir mereka kadang kala juga sangat begitu dangkal. Kenapa? Karena banyak dari mereka yang ternyata kian melupakan masa lalunya.

Bukankah dulu ketika duduk di bangku Sekolah Dasar pada masa kecilnya, guru menanyakan kepada mereka akan cita-cita hidupnya kedepan?

Ukurlah hingga usia remaja bahkan dewasa dari mereka saat ini. Sudahkah kebanyakan cita-cita mereka tercapai? Kalau belum, seharusnya ini menjadi suatu bahan evaluasi bersama, baik itu dari Orang-Tua maupun sang Anak atau Remaja itu sendiri.

Justru yang terjadi adalah kebalikannya atau lebih tepat kami katakan bertentangan. Yang dijadikan objek juangnya ternyata bukanlah lagi cita-cita individunya dulu, melainkan memperjuangkan untuk memiliki antar sesamanya. Ini bisa dilihat dengan seksama dalam segi dunia asmaranya.

Para sahabat, selaku Orang-Tua kita memang pernah berada di tahap itu dulu. Oleh sebab itu, bila sampai saat ini paradigma kehidupan yang demikian masih saja terjadi dan diwariskan oleh para remaja, lantas benar saja kan istilah yang kami sebutkan diatas? Yaitu pola pikir yang dangkal.

Mengapa dangkal? Karena tidak ada sebuah perubahan. Hidup Manusia secara fitrawi melalui akalnya, sesungguhnya berfungsi menciptakan kemajuan dan perubahan. Tetapi kita, malah membiarkan kedangkalan atau dinamika kesamaan "stuck" itu terjadi.

Yang para remaja perjuangkan lantas bukan lagi cita-cita atau merubah kondisi keterkungkungan hidup. Melainkan, memperjuangkan cinta sesamanya. Kalau laki-laki berarti berjuang mendapatkan cinta si perempuan, kalau perempuan ya sebaliknya. Memperjuangkan cinta si lelaki.

Dan dalam tahap perjuangan mendapatkan cinta inilah, para remaja betul-betul sudah siap secara jiwa dan raga maupun ekonomi, untuk mem-plening optimismenya mendapat cinta terhadap objek yang diperjuangkan.

Apa salahnya terkait pola kehidupan dalam ruang lingkup asmara para Remaja terhadap hal yang demikian? Ya, tentu saja tidak ada. Oleh karena tidak ada, maka selaku Orang-Tua, Kita harus bisa merubah sedikit saja saja pola pikir tersebut; dari berjuang untuk cinta, menjadi berjuang untuk kemaslahatan hidup bersama.

Kita tahu, bahwa rupa-rupanya, tidak semua diantara kehidupan para remaja yang berperilaku demikian. Survei membuktikan, ternyata ada banyak sekali Remaja yang cerdas pola pikirnya, ber-prestasi, dan tidak sedikit juga diantara mereka, justru banyak yang menekuni bidang skill-nya.

Dari situ terlihat jelas, kita selaku Orang-Tua telah berhasil mendidik Anak-anak kita tersebut. Inilah sisi surplus (nilai lebih)-nya untuk kita. Namun, apakah itu lantas sudah lebih dari cukup? Jawabannya adalah belum. Ya, belum.

Pertanyannya, ketika para Pemuda tersebut melalui kecerdasan mindsetnya berhasil mencapai tujuan hidup yaitu kesuksesan individunya, selanjutnya apa lalu yang kemudian harus dilakukan?

Tidak sedikit orang-orang intelektual yang mencoba mengupas fenomena-fenomena tersebut. Tetapi yang mengejutkan adalah, mereka dan bahkan kita sendiri sang Orang-Tua, kerap kali tak kunjung menemui solusinya.

Finalisasi atau ending daripada lembaga pendidikan formalitasnya, lantas hanya untuk mendapatkan sebuah pekerjaan agar menjadi tenaga kerja saja. Dan pastinya, pekerjaan dalam skill mereka masing-masing.

Tahun 2022 kemarin, seorang profesor kampus dari wilayah banjarmasin mengatakan di akun channel Berani Mikir bahwasanya; "Sistem pendidikan kita, tidak lain dan tidak bukan daripada hanya sekadar merupakan ladang bisnis semata."

Ini begitu mengejutkan, jika analisa profesor tersebut ternyata terbukti benar, tentu saja secara otomatis, kita para Orang-Tua sesungguhnya dari zaman ke zaman, hanya menjadi korban pembodohan akan sistem yang membawa nama pendidikan.

Tuhan selalu menegur didalam kitab suci kepada kita semua para Manusia, agar jangan sampai tidak memaksimalkan akal pikiran. Apakah salah kehendak tersebut untuk kita jalankan? Kesalahan kita itu ada banyak. Dan banyaknya kesalahan-kesalahan kita, tak perlu panjang kami uraikan.

Kembali dalam konteks ucapan profesor yang berasal dari wilayah Banjarmasin, Kalimantan Selatan tadi. Kurikulum akademik itu begitu permai dan segala gagasannya, sangat begitu memukau, dan begitu luar biasa. Mengapa? Karena itu semua berasal dari filosofi-filosofi yang ada pada Alam Semesta.

Alam Semesta ini merupakan sumber Ilmu Pengetahuan. Terbukti, banyak kalangan ilmuwan maupun filosof yang -- karena belajar dari Alam -- mampu menciptakan gagasan yang begitu dahsyat nan fenomenal.

Pikirkan, mengapa itu tidak pernah merasuk dalam kesadaran kita? Mengapa harus fokus menjadikan hal yang utama pendidikan formalitas bagi Anak-anak maupun Remaja? Bukankah mereka terlahir barang tentu sama, dan memang benar-benar sama dengan kita para Orang-Tuanya, yakni dibekali Akal Pikiran?

Bertani, berkebun, beternak, itu semua adalah Ilmu yang kita pasti, setidaknya ada satu yang dimiliki. Mengapa tidak itu saja yang lalu kita ajarkan kepada Anak-anak kita? Kakek-Nenek moyang bangsa ini sesungguhnya adalah petani serta pelaut.

Kalau generasi pemuda tidak mewarisi bidang-bidang terkait sektor tersebut, paling tidak salah satunya, apa lalu yang akan terjadi? Serbuan asing untuk memulai kembali upaya neo-kolonialis merupakan peluang investasi mereka.

Kecerdasan bisa diraih. Maka dari itu, pembagian bidang adalah solusi yang tepat. Para pemuda ialah Anak-anak kita, memang mempunyai keahlian individunya masing-masing. Bisa dilihat dari hobinya. Oleh sebab itulah, berbagai bidang atau hobi tersebut, harus bisa untuk saling melengkapi antar sesama.

Pemuda yang menyukai pertanian, peternakan, perkebunan, harus bisa berbagi pengetahuannya terhadap sesama. bagaimana upaya yang dilakukan? Tentu saja, dengan adanya upaya sharing (berbagi pengetahuan).

Akan tetapi, ini justru problema yang utama pula. Pemuda kita memang cerdas. Pandai akan hal-hal yang bersifat akademik. Namun, survei ternyata membuktikan. Minat mereka terhadap tiga kualifikasi sektor-sektor kebutuhan tersebut, jarang bahkan hampir tidak ada yang memiliki minat.

Padahal, fenomena Dunia setiap hari bahkan hingga detik ini, agradasi dari segi ekonomi dan politik, tengah mengalami krisis yang begitu berlebihan. Apa gunanya menjadi arsitek, penulis, peragawati, guru olahraga, ahli sastra, filosof, guru, dosen, kalau tidak bisa makan? Karena pangan tak ditanam?

Pemuda kita itu banyak yang arogansi. Tidak sedikit dari mereka yang menyombongkan diri, sebab merasa hebat. Darimana hebatnya? Pandai matematika, fisika, sains, puitisi, novelis, kalau tidak mau berbagi serta membuka diri untuk pengetahuan?

Itulah masalahnya para sahabat, tidak jarang pula kami jumpai Remaja-remaja seperti ini. Gengsi di no-1 kan. Sehingga manakala ada teman sebaya-nya yang memang lebih mengetahui, closed for mindset-lah yang selanjutnya dilakukan.

Kacau..!! benar-benar kacau..!! Pikirkan. Memangnya ketika kita diberikan nasehat, kritikan atau pandangan melalui argumen yang terkesan seperti diceramahi, lantas kita yang dianggap menceramahi itu, menganggap mereka Makhluk yang bodoh sebodoh-bodohnya?

Kalau iya, maka sesungguhnya, bukan mereka-lah yang bodoh. Akan tetapi, kita seorang Remaja yang berpandangan tersebutlah yang bodoh. Apabila niat kita selaku Remaja yang mengetahui perihal suatu konsep pengetahuan, lalu menganggap Remaja-remaja yang lain tidak pandai apa-apa, berarti kita sendiri pun begitu bodoh.

Kenapa bodoh, karena tak pandai menganalisis. Bukankah kita sudah tahu, hidup ini berbagai macam Ilmu dan bidang? Kalau teman kita Remaja yang lain tak mengetahui konsep pengetahuan yang kita kuasai, bukan berarti mereka tak paham apapun. Bisa jadi, ternyata minat, bakat, dan skill mereka ada pada bidang atau sektor yang lain.

Cobalah untuk berbagi pengetahuan. Mulailah kita para Remaja untuk melakukannya. Dan juga, kita jangan sampai menutup diri pula secara pikiran. Dengan kata lain, lebih spesifiknya yaitu menceramahi, tetapi tidak mau diceramahi. Itu pola pikir yang tidak bagus.

Cobalah menghidupkan dialektika. Apabila suatu pandangan terhadap suatu konsep yang dikemukakan Remaja yang lain memang tidak tepat, bantahlah dengan argumen pula, bukan justru menjustifikasi (sentimen) atau bahkan membencinya secara biologis. Itu sesungguhnya bukanlah ciri-ciri terhadap generasi unggulan.

Berhentilah mulai dari hari ini, akan hal-hal atau perilaku hedonis. Anda tahu, apa yang menyebabkan kita kerap kali merasa insecure? Tak perlu menggali referensi atau literasi sana-sini. Sikap insecure itu terjadi karena kita bodoh dan tak punya kemampuan berpikir, serta malas untuk belajar.

Oleh karenanya, yang harus kemudian dilakukan, bukan mencari literasi tutorial menghilankan sikap tersebut. cukup belajar saja yang giat. Perbanyak membaca buku, sering-seringlah menyimak konten-konten edukasi, kalau hobi menonton film, tontonlah film-film yang meng-inspiratif.

Membaca novel juga tak masalah. Bacalah novel yang meng-edukasi. Yang bercerita akan sikap kegigihan sosok utama, untuk menjadikan diri kita sosok yang berarti. Sesuai dengan kisah fiksi bacaan kita itu.

Jangan selalu mem-bully sesama. balaslah kritikan dengan kritikan. Argumen dengan argumen. Bila disakiti, kasih semacam peringatan tidak masalah, asal jangan berkepanjangan. Sebab problema biologis yang tak kunjung diselesaikan memalui jalur perdamaian, dan menghasilkan ke-harmonisasian. Itu sama saja dengan hewan.

Mengutip bahasa yang ada dalam Alkitab. Kasihilah Tuhan dengan segenap Akal Budimu, serta Kasihilah sesamamu sebagaimana Kamu mencintai diri sendiri. Tanamkan sikap luhur tersebut. perlu digaris-bawahi secara seksama. Aktualisasi terhadap suatu tindakan mengasihi, bukan hanya mandek pada perkara memberi perkara kebutuhan jasmaniah semata.

Upaya sharing atau berbagi pengetahuan, itu saja pun juga termasuk. Plato seorang filsuf Yunani ber-prinsip; "Manusia itu, jangan hanya selalu mencondongkan hidupnya pada dimensi lahiriah. Melalui Akal Pikiran, cobalah untuk mengasihi sesama."

Jelas, prinsip seorang Filsuf Yunani terbesar sepanjang sejarah itu, diambil daripada gagasan dalam kitab suci. Karena kitab suci, merupakan norma-norma atau aturan baku, untuk Manusia menjalani kehidupan yang sesuai akan keinginanNya. Keingingan Sang Pencipta, Pengatur, dan Pendidik segala penjuru Alam Semesta jagad raya.

Selaku Remaja, sebagai pemuda yang di-prediksikan dan di-harapkan, intelektualitas itu jangan hanya dijadikan ajang mencari perhatian public saja. Perlombaan yang bersifat literatif seperti pidato, puisi, menyanyi, usahakan untuk perlahan-lahan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Jadilah Pemuda yang berdikari. Akan tetapi, tidak boleh sampai kebablasan. Berdikari bukan berarti menentang segala-galanya, terutama prinsip-prinsip Tuhan. Ingat, kebenaran mutlak hanyalah berasal dari Sang Pencipta. Maka, lakukan open mind agar dapat memahaminya.

Jangan mudah ter-provokasi, ter-manipulasi. Karena itu teramat berbahaya. Bisikan tak sedap itu bisa datang dari mana saja. Kita para Remaja tidak akan pernah menyangkanya, manakala tidak berpikir. Sahabat kita sendiripun, kadang mereka tak tulus mencintai kita.

Kalau sahabat kita tulus, ketika kita bersedih atau merasa tersakiti, mereka seharusnya bisa men-support, memberi semangat, motivasi, untuk bangkit kembali. Bukan justru mencoba upaya membenci objek-objek penyebab kesedihan kita tadi.

Alhasil, kita akhirnya tidak punya pendirian. Tidak sama sekali memiliki sikap konsistensi. Hidup kita hanyalah bersandar terhadap pemahaman orang lain, khususnya Sahabat kita yang busuk tadi. Setiap kita mencoba membuka diri untuk bersosialisasi, Sahabat kita yang busuk datang untuk menggosip keburukannya.

Ini jangan sampai dibiarkan terus larut. Lingkungan yang bahagia, adalah kita yang mampu menebar energi positif melalui mindset yang positif pula. Karena pengejawantahan Akar suatu pohon kehidupan yang baik, ada dalam dimensi tersebut.

Pohon yang baik; Akarnya menancap kebawah, batangnya menjulang tinggi dengan kokoh ke langit, memberikan udara yang baik, serta berbuah manis ketika musim telah tiba. Itulah metafora akan Individu yang cemerlang.

Belajarlah prinsip kebaikan dari sebuah Pohon...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun