Akan tetapi, cobalah untuk berusaha meresapinya sejenak. Bagaimana justru orang tersebut berbicara tatkala Para Sahabat sedang bertatap-muka atau tengah bersama dengannya? Apakah lalu kita akan setuju, dengan menanggapi statement tadi melalui canda tawa atau dengan kata "Iya benar, masuk akal..!!"
Dari awal saja, Kita para Orang-Tua lantas tidak pernah merasa keberatan dan menganggap kenakalan para remaja yang merupakan Anak-anak kita tersebut, sebagai suatu kewajaran saja. Perihal ini, kami pernah menyinggungnya dalam artikel "Homo Homini Lupus est."
Lingkungan dimana kita hidup saat ini, memang sangat berbahaya untuk keberlangsungan moral hidup individu itu sendiri kedepan. Oleh karenanya, cobalah untuk memaksimalkan akal pikir setelah menganalisa saat ini, kemudian memikirkan kehidupan yang berlangsung untuk kedepannya.
Sebab, sikap tauladan para Nabi dan Rasul, pada kisah-kisah Beliau yang sudah berlalu, sesungguhnya telah paripurna mencatat setitik demi setitik norma-norma kehidupan diatas muka bumi dalam mushaf Kitab suci. Apa tujuannya? Otomatis kan itu saja yang lalu kita pahami.
Tidak ada gunanya, apabila kedatangan Para Nabi dan Rasul yang diutus di setiap zaman sebagai manifestasi kehadiran Tuhan di muka bumi, kalau kita justru abai dan tidak pernah punya keinginan untuk belajar meng-aktualisasikan sikap-sikap karakterNya tersebut.
****
Zaman yang batil, para sahabat sesungguhnya bisa merasakan dengan begitu terang benderang panoramanya.
Apabila upaya seseorang selalu berpartisipasi mengajak kepada sebuah dimensi kesalahan. Inilah realitas mutlak akan hal tersebut. Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Inilah yang kemudian kami coba untuk paparkan.
Kita tentu pertama-tama harus mencoba keluar dari gaya pola pikir, terutama yang merujuk kepada sandaran suatu harapan kita bersama. Dalam hal pendidikan misalnya, kewajiban Orang-Tua adalah menyekolahkan sang Anak.
Tetapi jangan semata-mata, kita lalu mengharapkan keutuhan seluruhnya pada sikap pendidikan formal, terhadap moral karakteristiknya beserta pemahaman spiritualitasnya. Kalau persepsi ini masih menggerogoti kesadaran Kita, maka jangan harap impian Kita tadi akan tercapai.
Guru-guru di sekolah, maupun ranah universitas yaitu para Dosen atau Rektor; tugasnya hanyalah mendidik pada kurikulum akademisnya saja. Itu pertama yang harus kita sadari. Otomatis, sudah pasti dari sisi pergaulan, perbuatan tersebut akan luput dari kontrol mereka, para tenaga-tenaga didik.