Setidaknya dahulu ummat Islam pernah memiliki satu partai yakni Masyumi yang merupakan akronim dari Majelia Syuro Muslimin Indonesia. Sebetulnya bila ditarik ke belakang, Masyumi merupakan penerus daripada MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia).
Ada tiga pendiri utama dari Masyumi yakni Mohammad Natsir, seorang Perdana Menteri dan tokoh penting dibalik mosi integral yang menyatukan kembali negara yang serikat atau federal ini menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tokoh kedua adalah Kartosuwiryo, sahabat Ir. Soekarno semasa kecil dan KH. Hasyim Asy'ari melalui putranya Wachid Hasyim.
Partai Masyumi ini menaungi banyak firqoh, kelompok atau golongan Islam di Indonesia. Setidaknya adalah Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al-Wasliyah, Matlaul Anwar, Perti, Al-Irsyad , PUSA, Nahdlatul Watan dan lain sebagainya.
Sebetulnya Masyumi ini nyaris menemui sebuah kemenangan yang sempurna (Fathan Mubina), akan tetapi ada satu ganjalan sehingga kemenangan ini belum sempurna. Pemilu terpaksa dimundurkan hingga tahun 1955 karena tiada ketersediaan cukup dana.
Tahun 1952, PKI yang telah melakukan pemberontakan pada 1948 itu, beberapa tokohnya datang ke rumah Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No.52 yang merupakan rumah hadiah dari pengusaha Arab bernama Faroj Martak (paman dari Yusuf Martak Ketua GNPF MUI). Ir. Soekarno yang pada dasarnya memiliki pemikiran bahwa komponen bangsa adalah Nasionalis, Agama dan Komunis (NASAKOM) mengakomodir kembali PKI untuk ikut dalam pesta demokrasi.
Bersama itu pula, setelah Ir. Soekarno bersama Soebandrio (Tokoh PKI) dan tokoh-tokoh NU menjalankan ibadah haji ke Mekah dan entah lobi apa yang ada disana, maka NU menarik diri atau keluar dari Masyumi. NU mendirikan partai sendiri bernama partai NU. Masyumi tetap melenggang, tanpa NU.
Tentu ada banyak asumsi mengapa NU menarik diri dari Masyumi. Ada yang berasumsi karena dewan syuro yang menjadi dewan penasehat dan tidak berimbangnya struktural yang diisi tokoh NU dalam Masyumi dan ada pula yang berspekulasi mengenai sikap soal NASAKOM. Semua analisis dan asumsi tentu sah saja.
Mengenai sikap terhadap NASAKOM, NU sendiri terpolar. Ada yang mengedepankan sangka baik seperti versi Kiai Wahab Chasballah, atau yang benar-benar menolak komunis seperti versi Idham Cholid.
Pemilu 1955 melenggang dengan 58 kursi Konstituante untuk PNI (Nasionalis), 58 kursi untuk Masyumi, 30 kursi untuk NU dan partai yang baru saja memberontak dan pendatang baru yakni PKI, melenggang langsung di posisi ke-4 dengan 28 kursi. Selisih dua kursi saja dengan NU. Bayangkan saja jika NU tidak menarik diri, mungkin saja Masyumi bisa menang gilang-gemilang dengan 88 kursi.
Setidaknya jika dillasifikasikan, maka ada dua jenis partai. Pertama partai Nasionalis-Sekuler seperti PDIP, Gerindra dan lain-lain. Kedua partai Nasionalis-Religius seperti PPP, PKB, PAN, PKS dan lain sebagainya. Jika dicatat sepanjang sejarah, hanya sekali tokoh Islam memimpin yakni KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Presiden ke-4 RI. Saya anggap itulah prestasi tertinggi Islam (politik) saat mengusung Gus Dur sebagai calon dari poros tengah, padahal pemenang pemilu kala itu adalah partai berlambang banteng. Sekarang, berturut-turut partai Islam semakin tenggelam. Trend-nya ialah PDIP, Gerindra, Golkar, Demokrat atau dibolak balik.
Lalu bagaimana dengan kini dan nanti?