Mohon tunggu...
Ahmad Rajafi Sahran
Ahmad Rajafi Sahran Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Membaca, Menulis, dan Menghasilkan Karya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Usia yang Pas untuk Menikah Menurut Fiqh Indonesia

28 Juli 2013   12:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:55 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada dua faktor utama yang mengakibatkan terjadinya pernikahan di bawah umur. Faktor pertama berasal langsung dari diri seorang anak tersebut (sebab internal), dan yang kedua berasal dari luar kekuasaan mereka (sebab eksternal). Adapun faktor internal menurut hemat penulis adalah, terletak pada lemahnya pola pikir si anak karena terputusnya pendidikan. Ketika seorang anak putus sekolah, maka biasanya tujuan utama setelah itu adalah menciptakan uang sebanyak-banyaknya demi menghidupi diri dan orang-orang terdekatnya. Ketika pola pikir seperti ini yang di bangun, maka ada dua dampak yang akan terjadi ; (1) Akibat dari lemahnya nilai pendidikan karena putus sekolah, maka lemah pula pengetahuan tentang organ reproduksi, menjaga kehormatan keluarga menjadi tidak ada, sehingga pada akhirnya akan mudah dibodohi oleh orang-orang yang tidak bermoral dan kemudian terjadilah pelaanggaran norma agama dan sosial berupa perzinahan ataupun pemerkosaan. Akibat dari hal tersebut, kemudian si anak di bawah umur terpaksa untuk segera melakukan pernikahan dini, dari pada keluarga harus menanggung malu sosial. (2) Biasanya si anak yang putus sekolah, akan memilih untuk cepat menikah dengan siapapun yang dapat memberikan kebutuhan ekonomi baik bagi dirinya dan keluarganya. Bahkan norma-norma berkeluarga pun di kesampingkan, tidak penting apakah calon suaminya tersebut masih berstatus suami orang atau single. Dengan berpikir seperti ini, biasanya pernikahan tidak akan berjalan lama, karena ketika pelampiasan material hilang, maka hilang pula kasih sayang dalam keluarga dan terjadilah perceraian.

Sedangkan yang kedua adalah faktor eksternal. Hal tersebut biasanya terjadi karena ; (1) Faktor paksaan orang tua karena takut melanggar norma agama dan sosial. Hal ini biasanya terjadi karena orang tua merasa takut ketika melihat anaknya yang begitu akftif melakukan hubungan komunikasi dengan lawan jenisnya, baik kontak langsung yakni pacaran atapun melalui komunikasi elektronik, yakni telponan ataupun sms-an. Karena adanya gelagagat yang tidak baik dalam pengamatan orang tua, maka menikah cepat adalah jalan keluarnya meskipun umur mereka belum memadai. (2) Faktor budaya lokal. Mengenai hal ini, ada beberapa wilayah di Indonesia yang masih sangat kental dalam mempraktekkan budaya pernikahan dini. Orang tua biasanya ketika melihat garis keturunan yang sempurna (dalam pandangan mereka) pada keluarga tertentu, seperti adanya keluarga yang ternama di wiliyahnya yang dilihat dari sudut pandang harta atapun agama, atau karena hubungan baik yang telah dibangun oleh dua keluarga, atau juga karena rasa hormat yang tinggi terhadap guru, ustadz ataupun kiai, sehingga mereka akan begitu mudah untuk langsung melakukan peminangan ataupun pernikahan untuk anak-anak mereka, meskipun si anak tersebut masih dalam keadaan di bawah umur. Hal tersebut dilakukan semata-mata untuk menjaga garis keturunan atau juga untuk memperbaiki keturunan menjadi lebih baik dalam pandangan mereka. (3) Yang terakhir adalah karena faktor lemahnya ekonomi keluarga. Mengenai hal tersebut, biasanya orang yang lemah ekonominya akan mudah untuk mencari peruntungan melalui jalan berhutang dengan orang-orang kaya ataupun rentenir. Akibatnya, ketika hutang tidak dapat dibayar, dan batas waktu pembayaran sudah tiba, maka anak biasanya menjadi pilihan instan dengan cara dinikahkan langsung dengan orang tersebut.



Berdasarkan berbagai faktor di atas, maka wajar jika kemudian di Indonesia hadir Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang sangat menekankan pentingnya umur dalam perkawinan. Hal ini terlihat dari isi pasal 6 ayat (2) yakni, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Dan pasal 7 ayat (1) yakni, perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Adapun di dalam Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan dalam pasal 15 ayat (1) ; untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Dan pada ayat (2) ; bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.

Melalui pasal-pasal di atas, ternyata hanya di dalam KHI pasal 15 ayat (1)-lah yang menjelaskan tentang maksud dari pentingnya masalah umur di dalam perkawinan, yakni demi terciptanya kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Bagi penulis, penuangan umur seperti yang ada di atas sangatlah bermasalah. Karena jika umur berfungsi untuk menciptakan kemaslahatan di dalam keluarga maka umur 16 tahun bagi calon istri hendaknya ditimbang ulang. Oleh karenanya, para pemikir Islam Indonesia ada yang tidak sepakat dengan standarisasi umur oleh pemerintah tersebut karena bagi mereka orang yang dewasalah yang baik untuk menikah, seperti Hasbi ash-Shiddieqy yang menjelaskan bahwa yang disebut dengan usia dewasa itu adalah 21 tahun. Moh. Idris Ramulyo yang menjelaskan bahwa umur ideal untuk menikah adalah 18 tahun bagi wanita dan 25 tahun bagi pria, dan standarisasinya tidak semata-mata pada patokan umur tersebut, akan tetapi pada keadaan dan kondisi fisik dan psikis para calon mempelai. Dan jika dilihat dari segi psikis dan kesahatan, standarisasi umur di atas sangatlah bermasalah. Dadang Hawari menjelaskan bahwa usia yang baik untuk menikah dan dapat melakukan KB menurut kesehatan adalah 20-25 tahun bagi wanita dan 25-30 tahun bagi pria, dengan tiga alasan. Pertama, bahwa memang benar anak aqil baligh ditandai dengan ejakulasi (mimpi basah) bagi laki-laki dan haid (menarche, menstruasi pertama) bagi perempuan, tetapi bukan berarti siap kawin. Perubahan biologis tersebut baru merupakan pertanda proses pematangan organ reproduksi mulai berfungsi, namun belum siap untuk reproduksi (hamil dan melahirkan). Kedua, dari tinjauan psikologis, anak remaja masih jauh dari kedewasaan (mature, matang dan mantap), dan kondisi kejiwaannya masih labil dan karenanya belum siap benar menjadi istri apalagi orang tua. Ketiga, dari sisi kemandirian, pada usia remaja sebagian besar aspek kehidupannya masih tergantung pada orang tua dan belum mementingkan aspek afeksi (kasih sayang).

Melalui berbagai narasi di atas, maka menurut hemat penulis, standar umur oleh pemerintah di atas sangat bertentangan dengan dua semangat besar penciptaan sumber daya manusia yang mumpuni di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia. Semangat tersebut adalah dengan adanya Undang-undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, di mana dalam pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat (2) ; perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hakhaknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ayat (12) ; hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Dan pada pasal 26 ayat (1) poin (c) menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Semangat yang kedua adalah adanya aturan tentang Wajib Belajar 12 Tahun di Indonesia. Mengenai aturan ini, pemerintah baru akan mulai menjalankan kebijakan terkait upaya peningkatan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia melalui Pendidikan Menengah Universal (PMU), atau dikenal dengan “rintisan wajib belajar 12 tahun”. Pendidikan Menengah Universal 12 tahun ditempuh untuk menjaring usia produktif di Indonesia. Menteri Muhammad Nuh menyampaikan terdapat bonus demografi untuk Indonesia pada tahun 2010 sampai dengan 2035. Artinya, sepanjang rentang tahun ini terdapat kumpulan peserta didik usia potensial dan produktif.

Melalui dua pendekatan di atas, maka sangatlah jelas bahwa standar umur minimal bagi calon istri hendaknya di dasarkan pada UU tentang perlindungan anak di mana usia anak-anak adalah di bawah umur 18 tahun, dan dari pasca wajib belajarnya selama 12 (dua belas) tahun atau setelah lulus SMA/MA/SMK, yakni sekitar 18 atau 19 tahun. Hal tersebut bagi penulis karena anak-anak di era ini lebih maju dalam berpikir dan berwawasan luas. faktor utamanya adalah karena adanya keterbukaan informasi baik media elektronik maupun internet di samping mereka. Selain daripada itu, anak-anak saat ini gencar sekali mendapatkan penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan di sekolah-sekolah tentang pengetahuan seks, bahaya seks bebas, informasi HIV/AIDS dan lain sebagainya, sebagai pengetahuan dini untuk mereka. Akan tetapi kelemahannya adalah, ketika seorang anak sudah memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas tentang seks, tapi pengetahuan mereka tidak diimbangi oleh pengetahuan orang tua, maka pada akhirnya perintah orang tua dapat menegasi kehendak anak. Orang tua tetap memaksa si anak untuk menikahkan anaknya dengan laki-laki pilihan mereka. Oleh karenanya, ketika terjadi hal seperti ini, si anak yang menolak hendaknya segera melaporkan kasus tersebut kepihak yang berwajib. Adapun mengenai ortodoksi beragama tentang penolakan anak adalah kedurhakaan yang nyata hendaknya perlu dilihat ulang. Bagi penulis, perintah untuk menikah atas alasan di atas merupakan kemaksiatan yang nyata dan sangat wajib untuk ditentang. Akan tetapi, etika tetap harus dikedepankan, maka segera meminta perlindungan ke Komnas Perlindungan Anak adalah cara yang sangat sesuai dengan nilai etik Islam. Untuk itu, hal yang paling mendasar dan dangat mendesak saat ini adalah, perlunya rekonstruksi budaya untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang nilai-nilai  anak dan perkawinan dari tindakan eksploitatif yang merugikan anak, menjadi penyiapan generasi muda untuk menjemput kehidupan masa depan yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun