Munculnya pandemi virus corona atau Covid-19 mampu melumpuhkan aktivitas semua kalangan masyarakat yang dilakukan di luar rumah. Masa pandemi Covid-19 tidak bisa dikendalikan secara cepat sehingga membutuhkan penatalaksanaan yang begitu tepat baik dari pemerintah maupun masyarakat. Covid-19 tidak hanya berdampak secara ekonomi, melainkan juga menjadi ancaman terhadap keretakan solidaritas sosial pada masyarakat multikultural. Betapa tidak, kebijakan pembatasan atau jarak sosial (social distancing) secara perlahan telah mengubah pola interaksi dalam masyarakat.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang dikenal dunia dengan keragaman suku, bahasa, kebiasaan dan agama. Untuk menemukan masyarakat yang multikultural ada di Kota-kota besar. Saat ini telah banyak Kabupaten bahkan tingkat Desa yang memiliki masyarakat multikultural. Maka tidak salah kalau Indonesia disebut negara multikultural. Permasalahan masyarakat multikultural saat ini sangat jarang terjadi solidaritas sosial. Tetapi di tengah pandemi Covid-19 akhir akhir ini terlihat mengalami problem sehingga untuk itu diperlukannya revitalisasi solidaritas masyarakat multikultural dengan cara pengaktifan kembali kesadaran kolektif (collective consciousness) melalui kegiatan sosial keagamaan, misalanya gotong royong dan ibadah secara berjamaah yang tentunya tetap memperhatikan protocol kesehatan.
Masyarakat diperbolehkan untuk berinteraksi di masyarakat seperti perilaku bergotong royong membersihkan Lingkungan, Gotong-royong pada hari-hari besar negara, gotong royong dalam acara keagamaan, acara budaya, Pesta perkawinan, dan Tolong menolong ketika ada musibah dan kedukaan dengan tetap memperhatikan prota kesehatan. Â Sehingga Fenomena ini akan menciptakan kebiasaan baru yaitu solidaritas sosial masyarakat multikultural yang berprilaku hidup bersih dan sehat.
Kelas menengah bisa dikatakan mendominasi masyarakat Indonesia saat ini. Masyarakat kelas menengah memiliki pengaruh yang besar dalam perkembangan perekonomian di Indonesia. Bisa dibilang, kehidupan kelas menengah cenderung stabil dan teratur. Mereka bisa memenuhi kebutuhan dan pengeluaran sehari-hari. Meningkatknya jumlah kelas menengah di Indonesia turut mempengaruhi penurunan angka kemiskinan. Pertumbuhan kelas menengah sendiri dapat diukur dengan kenaikan PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Kelas menengah juga menjadi target utama bagi wirausaha untuk memasarkan produk mereka karena kelas ini cenderung konsumtif. Dengan pendapatan lebih yang dimiliki, kelas menengah mampu memenuhi kebutuhan tersier dengan barang-barang seperti fashion, gatget dan makanan.
Teori-teori yang menggambarkan tentang gaya hidup dan konsumsi perusahaan antara lain dikemukakan oleh Weber, Weber mengatakan bahwa tindakan konsumsi dikatakan sebagai tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku  dari individu lain oleh karena itu diarahkan pada tujuan tertentu. Selain Weber ahli lain  juga mengemukakan teorinya, diantaranya Karl Marx, Thorstein Veblen, dan Emile Durkheim. Dari masing-masing teori yang sudah dijelaskan dapat diambil kesimpulan bahwa pola konsumsi akan mengikuti keadaan masyarakatnya, maksudnya adalah kehidupan masyarakatnya seperti apa maka pola konsumsinya pun berbeda. Namun demikian adanya perbedaan tersebut pola konsumsi dikatakan sebagai gaya hidup bagi masyarakat karena setiap gaya hidup yang dimiliki masyarakat maka akan menentukan pola konsumsinya.
Pada masa pamdemi seperti sekarang ini bisa di katakan masyarakat menengah merupakan kelas masyarakat yang paling terdampak dengan kebijakan pembatasan sosial yang ada. Bagi masyarakat kelas menengah, mererka sampai harus kehilangan pekerjaan mereka bagi mereka yang bekerja di pabrik. Karena kebijakan pembatasan sosial yang di terapkan termasuk juga membatasi tenaga kerja dalam suatu bidang Wirausaha. Menurunnya konsumsi masyarakat akan kebutuhan hidup mereka adalah karena sebagian besar masyarakat kehilangan pekerjaan mereka karena adanya pembatasan sosial di Masa Pandemi Covid-19 ini. Bahkan bagi sebagian masyarakat kelas bawah yang mulai merintis usaha harus mengalami kebangkrutan karena tidak di perbolehkan untuk menjalankan usaha mereka dengan berbagai alasan.
Penulis : Aghitsny Tsalatsan Niam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H