Mohon tunggu...
Ahmad Qoiman
Ahmad Qoiman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Ahmad Qoiman, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Efek Dunning-Kruger: Ketika Manusia Rentan Menyebar Hoax dan Hatespeech

2 Juli 2021   07:37 Diperbarui: 2 Juli 2021   07:56 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Kehadiran Internet dan digitalisasi media seringkali dijadikan kambing hitam atas kebebalan manusia pada abad ke21 ini. Kesimpulan tersebut tidak sepenuhnya benar dan tidak pula sepenuhnya salah. Sebelum abad ke-21 dan sebelum kepopuleran internet, tingkat partisipasi orang terhadap berbagai jenis perdebatan termasuk politik sangat terbatas. Sejak kemunculan internet semakin masif tumbuh "pengetahuan palsu". Ide tentang pengetahuan palsu dipaparkan oleh Karl Taro Greenfiels dalam "Faking Cultural Literacy" (2014). Dia menyatakan bahwa membaca dan mengobrol secara daring membuat orang-orang menjadi seolah-olah mengalami, melihat, membaca, dan menonton. Dari hal itu kemudian orang merasa hanya perlu mengetahui dan punya pendapat, sehingga merasa mampu untuk ikut andil dalam diskusi isu yang sedang bergulir.

Akibat fatal dari kondisi tersebut adalah terjadi kecenderungan di mana semua orang menganggap bahwa potongan info di media dapat menjadi rujukan. Hal ini mengakibatkan orang merasa kemampuannya tak terbatas dan memiliki kemampuan laten yang lebih banyak. Implikasinya adalah orang-orang merasa bahwa dapat menjadi pakar dalam semua hal. Padahal, Tom Nichols dalam "The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters" (2017) membuka analisanya dengan argumen bahwa setiap orang tak akan mampu menjadi multi-kognitif atau mengetahui segala macam topik secara universal. Nichols kemudian membedakan antara pakar, profesional, ahli, atau intelektual dengan orang awam. Dari sekian kategori, orang awam memang paling rentan terjebak pada lingkaran "pengetahuan palsu" yang berujung dengan mudah menyebarkan hoax (kebohongan), hatespeech, hingga bullying di media sosial.

Contoh paling nyata dan cukup membuat media sosial penuh dengan hoax serta hatespeech adalah ketika publik tepecah menjadi dua kubu pada gelaran pilpres 2019 silam. Kedua kubu memproduksi narasi mereka masing-masing untuk menciptakan apa yang disebut sebagai cyber troops (pasukan siber). Masing-masing dari mereka memiliki buzzer politik untuk menyebarkan informasi yang sesuai dengan kepentingan mereka. Peran para buzzer ini telah menjadi benalu dalam demokrasi. Kebisingan yang mereka ciptakan, tidak berdasarkan kebenaran ilmiah, akan tetapi berdasarkan siapa yang membayar mereka. Kondisi itu cenderung mengarahkan mereka sebagai pemroduksi konten- konten hoax demi mencapai tujuan politik tertentu. Mereka bahkan tidak jarang melakukan bullying terhadap pihak yang berseberangan dan juga menyerang sisi personal seseorang. Pada kenyataanya, perdebatan serta adu argumen yang seringkali gagal secara komperhensif tidak hanya terjadi dalam ranah politik, tapi hampir di dalam semua ranah kepakaran, misalnya kesehatan, astronomi, pertukangan, dan lain sebagainya.

Akar dari segala kebebalan orang awam bisa dijelaskan secara psikologis bahwa mereka mengalami "Efek Dunning-Kruger". Dunning Kruger ditemukan oleh David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University pada tahun 1999 yang menyatakan bahwa "semakin bodoh anda, semakin yakin bahwa anda sebenarnya tidak bodoh". Temuan utamanya bahwa "Mereka bukan hanya salah dalam menyimpulkan dan membuat pilihan, inkompetensi juga merampas kemampuan mereka menyadari kesalahan tersebut ( Nicholas, 2017: 52).

Dongeng, takhayul, dan teori konspirasi memperburuk Efek Dunning- Kruger. Dari ketiga irasionalitas tersebut, teori konspirasi bekerja lebih "menyeramkan" dengan membuat argumen yang dipaparkan seolah-olah komperhensif dan rasional. Betapa efek Dunning-Kruger menjadi masalah besar bagi para intelektual karena orang-orang awam berubah menjadi orang bebal ketika mereka tak memiliki kemampuan metakognisi. Metakognisi merupakan suatu kemampuan untuk menyadari kesalahan, dan mengambil jarak melihat apa yang sedang anda lakukan, menyadari bahwa anda salah melakukannya (Nichols, 2017).

Kemampuan ini tak hanya dimiliki oleh intelektual, namun juga ada pada orang-orang awam yang mampu menyadari kesalahannya. Kondisi ini berbeda dengan orang-orang bebal yang tak memilikinya membuat intelektual frustasi. Orang-orang bebal dapat berargumen menentang ilmu pengetahuan yang telah mapan karena sterotipe yang dibangun bahwa "intelektual dapat melakukan kesalahan" lalu terjadilah bias konfirmasi, tanpa mereka melakukan generalisasi seperti halnya yang dilakukan intelektual untuk menarik kesimpulan. Mereka mencari informasi melalui internet membuat mereka merasa telah belajar tentang sesuatu, namun kenyataannya mereka tenggelam dalam data-data yang tak mereka pahami.

Mempelajari Ilmu pengetahuan untuk memperoleh intelektual, tak didapatkan secara sederhana, sesederhana perdebatan di media daring. Para ilmuwan melakukan penalaran atau analisis dari fakta-fakta yang diamati, diukur, dan diverifikasi. Pengumpulan data dilakukan berulang kali dan melakukan peer-review (tinjauan sejawat) lalu menggunakan double-blind review untuk   mencegah bias pribadi dan bila perlu melakukan peer-review dengan argumentasi yang bertolak belakang dengan argumentasinya untuk mendapatkan kesimpulan yang mapan. Tak hanya melalui serangkaian tahap tersebut untuk menjadi intelektual, namun kemampuan laten (Graff, 2001) terhadap bidang tertentu lalu mengasahnya kedalam argumentasi kritis menjadi penentu intelektualitas seseorang dalam suatu bidang.

Tidak hanya dapat dikonstruksi melalui sains, Gerald Graff menemukan bahwa kemampuan membangun argumentasi pemahaman tentang sejarah Revolusi Perancis, atau kemampuan akademik lainnya. Menyukai hal-hal yang dianggap menarik seperti olahraga, mengikuti perkembangan olahraga melalui majalah atau koran juga dapat membangun kemampuan berpikir kritis yang lebih luas seperti "mengapa orang-orag pendukung klub sepak bola terjerumus dalam konflik hanya karena perlombaan?' lalu berpikir bahwa olahraga dapat menjadi perpanjangan dari dunia sosial yang lebih luas dan orang-orang terobsesi pada "hidup dan mati" pada tim mana yang mereka pilih (Graff, 2001).

Ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah lembaga pendidikan. Kemampuan metakognisi dan budaya penuh argumentasi harus diberdayakan lebih baik lagi. Melalui pendidikan kritis, dan metode mengajar yang fresh membuat orang mampu menimbang berbagai jenis bukti,  menganalisa bukti yang dipaparkan orang lain, membuat generalisasi dan suatu yang spesifik, merangkum berbagai pendapat, lalu menciptakan ide (Graff, 2001). Melalui hal itu, ilntelektualitas akan tetap terjaga. Tom Nichols (2017) juga menjelaskan bahwa seorang yang telah belajar ilmu filsafat atau fisika minimal harus mengetahui sejarah dan budayanya sendiri. Mekanisme pembelajaran tersebut mencetak intelektual-intelektual yang akan jauh dari logical fallacy (kekeliruan logis), karena mereka dapat menata argumentasi secara tepat dan tak lagi ahistoris.

Referensi:

Nichols, Tom. (2017). The Death of Expertise: The Campaign Agains Established Knowledge and Why it Matters. United States: Oxford University Press

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun