Puisi lahir dari rahim kegelisahan penulis setelah menangkap realitas-realitas yang menghampiri tiap perjalanan kehidupannya. Daya indra yang dimiliki penulis akan memercikkan imajinasi yang mengalirkan diksi, dan kemudian bukan sekadar susunan kata, melainkan aliran rasa.
Sehingga, puisi bisa jadi sesuatu yang hidup. Menjadi teman di saat sepi, karena ledakan-ledakannya. Atau sebaliknya justru membuat perasaan begitu sepi di antara lorong kata dan bait.Â
Ia juga mengajak bernyanyi lewat rima di tiap huruf, membawa terbang-jatuh di keindahan metafora. Tak jarang puisi memberikan kesan sejuk, pun teriakannya mampu membakar perasaan.Â
Setiap kujumpai bendungan sampean baru (Bondowoso) ini, ada rasa nyeri dalam hati. Ku rebahkan tubuhku di atas batu-batu
Membiarkan angin membelai rambutku dan membisikkan sesuatu.
Tentang masa silam yang mencekam perasaan.
Penderitaan itulah yang membuatku terus berjalan.
Menyusuri kampung-kampung di relung hati.
Kadang aku tulis di daun, di ranting-ranting, di atas batu-batu dan orang-orang biasa menyebutnya puisi.
Padahal aku menyebutnya kristalisasi air mata dalam sunyi.
Banyak cara orang menangis
Dan aku menangis dengan cara menulis puisi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H