Mohon tunggu...
Ahmad Nur Kholid
Ahmad Nur Kholid Mohon Tunggu... -

Aktivis, Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tiga Kelompok Revolusi dan Posisi Resolusi Jihad NU

26 Oktober 2014   15:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:41 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selama revolusi 1945-1949 bangsa Indonesia dihadapkan pada ancaman kembalinya Belanda ke Indonesia melalui Sekutu. Hal itu sesuai dengan isi Perjanjian Wina tahun 1942. Perjanjian tersebut berisikan kesepakatan di kalangan Negara-negara sekutu untuk mengembalikan koloni masing-masing negara sekutu apabila Jepang berhasil dikalahkan dan bisa diusir dari wilayah tersebut. Jepang pun menyerah kepada sekutu tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus 1945. Dua hari kemudian, Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bersamaan dengan itu, sekutu juga sudah mulai melaksanakan hasil kesepakatan untuk mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Sekutu membagi Indonesia dalam tiga zona komando, yaitu Kalimantan dan Indonesia timur di bawah kendali Australia; Pulau Morotai dan Irian Barat di bawah kendali Amerika dan Australia; dan Sumatra serta Jawa di bawah kendali Inggris.

Selain membagi wilayah Indonesia dalam tiga zona komando tersebut, sekutu juga sudah mulai menurunkan pasukan di beberapa wilayah di Indonesia. Australia bahkan sudah mulai mendaratkan pasukannya sejak sebelum menyerah di wilayah Pontianak. Berikutnya, setelah Jepang menyerah, Australia mengirimkan pasukannya lagi di Banjarmasin dan Makasar. Pada tanggal 23 Agustus 1945 (6 hari setelah proklamasi), Inggris mendaratkan pasukannya di Sabang bersama dengan Belanda. Satu bulan kemudian setelah proklamasi, 15 September 1945, tentara Inggris dengan diboncengi NICA (Nederland Indies Civil Administratif/ Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) tiba di Jakarta.

Pasukan NICA dipimpin oleh Dr. Hubertus J Van Mook, yang langsung menebar ancaman untuk tidak akan berdiplomasi dengan Soekarno sebab dianggap bekerjasama dengan Jepang.Ancaman sekutu yang begitu besar tampak di depan mata. Sementara itu, kesiapan bangsa Indonesia masih belum terkonsolidasikan secara maksimal. Menghadapi situasi ini, kalangan pergerakan Indonesia terbelah dalam tiga sikap politik. Pertama, kelompok pro diplomasi murni dan anti kekerasan (anti angkat senjata) dalam melawan Belanda. Mereka ini adalah kelompok Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin Harahap, keduanya pernah belajar di Belanda. Sutan Syahrir adalah penyeru nilai-nilai kemanusian dan anti kekerasan dalam perjuangan bangsa. Sikap tersebut berpijak kepada ideologi yang dianut, yaitu sosialisme demokrat, ideologi partai politik yang sedang berkibar di Belanda. Sebagaimana Syahrir, ideologi Amir Syarifudin juga bermuara pada Marxisme, tapi lebih berhaluan komunis Uni Sovyet. Keduanya, Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin telah bekerjasama dengan dinas intelijen Belanda dalam melawan Jepang. Hal ini mungkin saja terjadi, sebab saat itu antara pihak Sekutu dan Uni Sovyet telah bekerjasama dalam menumpas Jepang.

Baik Sutan Syahrir dan Amir Syarifudin, keduanya pernah menduduki jabatan perdana Menteri RI. Sebagai sebuah strategi, sehari sebelum kehadiran Inggris dan NICA di Jakarta (14 September 1948), Soekarno bersama KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat/dulunya BPUPKI), merubah sistem pemerintahan dari presidensil yang dikendalikan oleh presiden menjadi sistem parlementer yang dikendalikan oleh perdana menteri. Perubahan itu adalah respon atas ancaman Van Mook yang tidak mau berdiplomasi dengan Soekarno. Pemilihan Sutan Syahrir dan Amir Sjarifudin sebagai perdana menteri secara bergantian juga dimungkinkan sebab keduanya lebih menunjang untuk berkomunikasi dengan Belanda.

Namun demikian, fakta menunjukan diplomasi yang dilakukan oleh kedua perdana menteri ini sangat lemah. Masing-masing menghasilkan satu perjanjian, yaitu Linggar Jati dan Renville. Perjanjian Linggar Jati menghasilkan kesepakatan wilayah RI hanya terbatas Sumatra, Jawa, dan Madura. Sedangkan perjanjian Renville hanya mengakui separoh Jawa Tengah, ujung Barat Jawa, dan Sumatra.

Kedua, kelompok anti diplomasi yang digalang oleh Tan Malaka. Bersama kelompok “Persatuan Perjuangan” yang beranggotakan 142 organisasi, Tan Malaka menuntut agar diplomasi dilakukan setelah Indonesia benar-benar merdeka 100 persen. Dengan demikian, Tan Malaka mendesak agar pemerintah melakukan kebijakan perang secara penuh pada saat itu. Untuk itu Tan Malaka melakukan propaganda secara masif. Strategi Tan Malaka bisa dipahami, sebab melakukan perlawanan terhadap Belanda secara masif juga menemukan momentum yang tepat. Belanda dan Sekutu belum terkonsolidasikan kekuatannya dengan baik di Indonesia. Sementara itu, Bangsa Indonesia sudah banyak belajar militer dari Jepang serta mendapat banyak rampasan senjata dari Jepang.

Persatuan Perjuangan yang didirikan oleh Tan Malaka bulan Januari 1946 menjadi kekuatan oposisi pemerintah RI yang sedang melakukan diplomasi terhadap Belanda. Oposisinya dirasakan sangat mengganggu, khususnya oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir. Sebagai perlawanan balik, pihak pemerintah juga menuduh Tan Malaka sebagai pihak yang hanya bisa menghasut dan gak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya, Tan Malaka ditangkap dan dipenjarakan pada Maret 1946 hingga September 1948.

Setelah keluar penjara, Tan Malaka mendirikan Partai Murba bersama dengan pengikutnya. Tan Malaka semakin keras mengkritik pemerintah dan Soekarno. Tan Malaka menuduh Soekarno tunduk pada kepentingan Belanda dan menuduh tentara tidak berani berperang. Tan Malaka pun bergerilya melawan agresi Belanda. Pada saat Soekarno dan Hatta ditangkap oleh Belanda, Tan Malaka mengumumkan dirinya sebagai presiden RI. Tan Malaka lalu diburu oleh tentara dan ditembak oleh pasukan Letda Sukotjo di Kediri pada 21 Pebruari 1949.

Ketiga, kelompok yang menggabungkan antara kekuatan diplomasi dan kekuatan senjata. Kelompok ini dipimpin oleh Soekarno-Hatta. Meskipun secara resmi, pemerintah tampak kompak melakukan jalan diplomasi. Akan tetapi, jika kita amati lebih jauh, terdapat perbedaan antara Soekarno – Hatta dengan Sutan Syahrir, serta dengan Amir Sjarifudin. Naiknya Sutan Syahrir dan Amir Sjarifudin sebagai perdana menteri lebih tampak sebab kebutuhan situasi yang dihadapi bangsa Indonesia. Indonesia perlu orang yang bisa berkomunikasi dengan Belanda untuk menjalankan diplomasi. Syahrir dan Amir lah orang tersebut, keduanya bekerjasama dengan Belanda dalam melawan pendudukan Jepang.

Soekarno-Hatta berbeda dengan Syahrir maupun Amir Sjarifudin. Fakta tersebut tampak dari sikap Soekarno-Hatta saat bocornya surat rahasia Sutan Syahrir kepada Van Mook ke publik yang secara samar-samar menyetujui konsep Negara federasi yang ditawarkan oleh Belanda. Van Mook dalam kawat yang dikirim ke Belanda menceritakan bahwa Syahrir telah bertemu dengan Soekarno dan Soekarno marah. Demikian pula Hatta, dalam pidato Isra’ Mi’raj di alun-alun Yogyakarta, mengekspose isi surat itu di depan publik (27 Juni 1946). Keesokan harinya (28 Juni 1946), Sutan Syahrir diculik hingga 3 Juli 1946. Pada hari di mana Sutan Syahrir diculik, Soekarno atas nama “situasi darurat” mengambil alih kekuasaan pemerintahan. Meskipun Sutan Syahrir sudah dibebaskan lima hari kemudian, Syahrir baru diminta kembali sebagai Perdana Menteri pada 14 Agustus 1946. Setelah saat itu, Syahrir diharuskan berkordinasi dengan orang-orang kepercayaan Soekarno saat hendak menyusun kabinet. Hal ini menunjukkan bahwa Soekarno tidak diam dan memiliki pandangannya tersendiri mengenai diplomasi.

Meskipun Soekarno menyetujui diplomasi yang bahkan harus dengan merubah bentuk pemerintahan, tetapi Soekarno juga memainkan strategi peperangan meskipun tidak tampil secara langsung. Misalnya, sesaat setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 21-22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari mengumpulkan seluruh kiai di Jawa dan Madura untuk menjawab pertanyaan Soekarno tentang hukum mempertahankan tanah air dari penjajah dalam Islam. Pertemuan itu akhirnya memutuskan bahwa mempertahankan tanah air bagi setiap muslim, hukumnya adalah fardlu ‘ain (berdosa bagi tiap individu yang tidak melaksanakannya, jika tidak ada halangan). Keputusan tersebut dikenal dengan nama “resolusi jihad”.

Tentu saja pertanyaan Soekarno itu pada dasarnya adalah ajakan untuk berperang dengan cara yang sangat halus guna menghormati KH. Hasyim Asy’ari yang dihormati seluruh ulama di nusantara dan bahkan dunia Islam. Soekarno resah, 6 ribu tentara Inggris telah masuk ke Jakarta pada tanggal 15 September 1945. Sementara beberapa wilayah Indonesia lainnya perlahan-lahan juga dikondisikan oleh sekutu.

KH. Hasyim Asy’ari mengerti maksud Soekarno tersebut. Sehingga, saat Soekarno mengajukan pertanyaan tersebut, tidak langsung dijawab olehnya. Akan tetapi, KH. Hasyim Asy’ari mengumpulkan seluruh kiai di Jawa dan Madura terlebih dahulu. Sehingga, saat keputusan tersebut adalah wajib, maka keputusan tersebut adalah maklumat bagi seluruh Kiai untuk mewajibkan diri mereka dan seluruh barisan dibawah pengaruhnya untuk berperang. Setelah terbitnya resolusi jihad, warga NU (khususnya, satuan para militernya hizbullah yang dikomandoi oleh para kiai) di seluruh wilayah melakukan konsolidasi dan siaga untuk perang. Dalam keyakinan mereka, membunuh tetara sekutu adalah ibadah dan disambut dengan suka cita.

Itulah yang mempengaruhi cara “sambutan” warga Jawa Timur/Surabaya (yang merupakan basis utama NU) terhadap kedatangan Sekutu dan NICA di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, berbeda dengan daerah-daerah lain. Pada waktu itu, tentara Sekutu berada dibawah pimpinan Brigadir Jendral A.W.S Mallaby yang kemudian mati terbunuh pada tanggal 30 Oktober 1945. Akhirnya, gesekan di Surabaya tersebut membuat sekutu marah dan sebaliknya ditanggapi kalangan NU dengan melakukan mobilisasi besar-besaran di kalangan laskar NU hizbullah-Sabilillah dan elemen lainnya. Kalangan NU menyebut, terdapat puluhan ribu milisi terdiri dari kiai dan santri berkumpul di Surabaya. Di kalangan NU diumumkan penjelasan bahwa kewajiban perang di Surabaya berlaku untuk semua kaum muslim dalam radius 97 KM. Sedangkan di luar radius tersebut berkewajiban membantu saudaranya yang berada dalam radius tersebut. Keberadaan para kiai, dengan berbagai cerita “kekeramatannya” menjadi motivasi tersendiri di kalangan pejuang yang berkumpul di Surabaya.

Di kalangan NU, Bung Tomo dianggap sebagai kepercayaan Soekarno. Dia lahyang menemani Soekarno saat menanyakan hukum memerangi penjajah kepada KH. Hasyim Asy’ari. Soetomo adalah pimpinan BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) yang baru didirikan pada tanggal 12 Oktober 1945 (satu bulan sebelum peristiwa 10 November) sehingga bukanlah organisasi kuat. Di kalangan NU, Soetomo juga dianggap sebagai warga NU yang pandai berorasi. KH. Hasyim Asy’ari pun mempercayakan kepadanya sebagai juru orasi membakar spirit Jihad umat Islam, mengizinkannya untuk membaca “resolusi jihad” di radio BPRI yang direlai oleh stasiun RRI di seluruh Indonesia. Pada saat itu, satuan-satuan dari berbagai unsur dan daerah berkumpul berjuang bersama-sama melawan sekutu. Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Philip Sir Christison mengirim pasukan Divisi ke-5 dibawah Komando Mayor Jenderal E.C Mansergh, berjumlah 15 ribu tentara, dibantu 6 ribu personel brigade 45 The Fighting Cock dengan persenjataan serba canggih.

Kecanggihan Soekarno dalam mendorong perlawanan Surabaya adalah salah satu bukti Soekarno juga memainkan strategi perang, bukan semata-mata diplomasi. Terbukti, persitiwa 10 November 1945 pada akhirnya mengilhami perlawanan di semua wilayah di Indonesia. Soekarno cukup lihai dalam memainkan perang di seluruh nusantara tanpa harus memperlihatkan dirinya. Hal itu sangat bermanfaat guna mengontrol dua perjanjian pertama (Linggar Jati dan Renville) yang tidak menguntungkan Indonesia. Mungkin sekali, Belanda memang dipancing untuk melakukan agresi I dan agresi II sehingga pemerintah memiliki legitimasi untuk keluar dari kesepakatan Perjanjian Linggar Jati dan Renville.

Dibanding kelompok diplomasi dan anti diplomasi, strategi Soekarno-Hatta adalah yang terbaik. Strategi Soekarno berpijak pada pertimbangan yang sangat realistik, strategi berdasarkan kebutuhan untuk menang. Dia mengkombinasikan dua strategi sekaligus, yaitu diplomasi dan perang. Meskipun juga mengambil jalur diplomasi, Soekarno tidak terjebak pada filsafat kemanusiaan dan anti kekerasan Sutan Syahrir. Meskipun mengambil jalur perang, Soekarno juga tidak anti diplomasi seperti Tan Malaka. Sebab, pada akhirnya kebenaran sebuah teori perang ditentukan oleh hasil yang dicapai, yaitu berhasil atau gagal.

Setelah dua kabinet, Syahrir dan Amir Syarifudin, jatuh dan digantikan oleh kabinet Hatta yang benar-benar sejalan dengan Soekarno, strategi Soekarno semakin menemukan hasilnya. Perjanjian Roem-Royen (7 Mei 1949) dan Konferensi Meja Bundar (23 Agustus–2 November 1949), kedua didahului oleh serbuan besar-besaran. Perjanjian Roem-Royen diidahului oleh serangan besar-besaran 1 Maret 1949 untuk memaksa Belanda menyepakati Perjanjian Roem-Royen. Sedangkan Konferensi Meja Bundar didahului oleh serangan umum Surakarta pada tanggal 7 – 10 Agustus 1949, di mana akhirnya Belanda mengakui kedaulatan RI.

*Ditulis oleh Ahmad Nur Kholid, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun