Mohon tunggu...
Ahmad Nur Kholid
Ahmad Nur Kholid Mohon Tunggu... -

Aktivis, Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peletak Dasar Politik NU: KH.M. Bishri Syansuri Ahli Fikih Yang Konsisten

24 Oktober 2014   05:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:55 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Kebesaran KH.M. Bishri Syansuri di Akhir Hayatnya”

KH.M. Bishri Syansuri lahir pada tanggal 18 September 1886 di Tayu. Beliau adalah kakek Gus Dur dari jalur ibu, wafat pada tanggal 25 April 1980 dalam usian 94 tahun, pukul 17.05 WIB di Denanyar Jombang. Tanggal tersebut bertepatan dengan 19 Jumadil Akhir 1400 H, pada hari jumat sebagaimana doa yang beliau panjatkan. Segenap pihak, baik pemerintah pusat-daerah, swasta, ormas, kalangan ulama, dan masyarakat awam kehilangan sosok panutan. Tak kurang, Presiden RI, Pimpinan DPR RI, Pimpinan MPR RI, kementrian RI, pimpinan pusat seluruh partai politik (PPP, PDI, dan Golkar), MUI pusat, seluruh jajaran NU, ormas-ormas keagamaan dan lainnya mengirimkan ucapan duka cita atas kepergian Beliau. Kewafatan beliau juga disiarkan oleh media massa di tanah air seperti TVRI, RRI, Kantor Berita Antara, Harian Pelita, Harian Kompas, Majalah Tempo, dan lain sebagainya. Pada hari wafatnya tersebut, beliau meninggalkan jabatan-jabatan penting sebagai Rois ‘Am PBNU, anggota DPR RI, dan Rois ‘Am Majlis Syura PPP.

Pada malam hari itu juga, dilakukanlah upacara pemandian oleh KH. Mansyur Anwar, Gus Dur dan lain-lainnya dari pihak keluarga. Beribu-ribu kaum muslimin hadir dengan mulut komat kamit membacakan doa dan muka merah padam sebab basah oleh air mata menahan tangis. KH. Bishri Syansuri disholatkan di rumah beliau secara bergiliran dan berjamaah sebanyak 32 kali. Sebelum dimakamkan pada hari sabtu siang pukul 13.00, beliau disholatkan sekali lagi di masjid yang diimami oleh KH. Zarkasyi (Pengasuh Pondok Pesantren Gontor). Beliau lalu disholatkan sekali lagi di samping liang kubur oleh KH. Dr. Idham Kholid, KH. Syaifudin Zuhri, dan lain-lain yang datang terlambat.

Pemakaman KH. Bishri Syansuri dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional seperti H. Alamsyah Ratu Prawiranegara (Menag RI), KH. Masykur (DPR RI), KH. Idham Kholid (DPA), Buya Hamka (MUI), KH. Makhrus Aly, Prof. Dr. Anwar Musyadad (PBNU), KH. Imam Zarkasyi, Dr. M.J. Naro (Ketum PPP), KH. Ahmad Syaikhu, KH. Ali Yafie, KH. Abdullah Siddiq, KH. Imron Rosyidi, SH., Dr. Tholhah Mansyur, H. Imam Sofwan, Prof. Nakamura (Sosiolog dari Jepang), sejumlah anggota DPR/MPR RI dan lain sebagainya. Selain itu, juga dihadiri oleh para tokoh daerah seperti Soegiono (Wagub Jatim), para tokoh teras Jawa Timur, H. Sudirman (Bupati Probolinggo), Hudan Dardiri (Bupati Jombang), dan lain sebagainya.

Semua itu menggambarkan sebagian dari kebesaran beliau yang ditampakkan di akhir hayatnya. Siapakah gerangan KH.M. Bishri Syansuri sehingga memiliki tempat sedemikianrupa di berbagai kalangan tersebut? Sebagai sosok yang multi dimensional, KH.M. Bishri Syansuri bisa dibaca dari banyak sudut. Sekurang-kurangnya, kita bisa melihat kehebatan beliau dari tiga aspek, yaitu aspek pemimpin keulamaan, aspek pemimpin politik, dan aspek kepribadian.

“KH.M. Bishri Syansuri Sebagai Pemimpin Ulama”

Pertama, sebagai pemimpin keulamaan, KH.M. Bishri Syansuri berpegang pada tradisi ulama untuk menimba ilmu agama langsung dari para ahlinya, sehingga sanad keilmuannya tersambung. Untuk itu beliau telah berkeliling dari satu ulama ke ulama lainnya selama kurang lebih 21 tahun. Petualangannya dimulai sejak usia tujuh hingga saat belajar Al-Quran dan tajwidnya kepada KH. Sholeh Tayu, hingga pulang dari Makkah pada tahun 1914 saat berusia 28 tahun. Di antara guru KH.M. Bishri Syansuri adalah sebagai berikut: KH. Soleh Tayu, KH. Abd. Salam Kajen, KH. Khalil Kasingan Rembang, KH. Su’aib Sarang Lasem, KH. Khalil Demangan Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari, Syaikh Muhammad Bakir Mekkah, Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani, Syaikh Umar Bajuned, Syaikh Muhammad Sholeh Bafadhol, Syakh Jamal al-Maliki, Syaikh Abdullah, Syaikh Ibrahim al-Madani, dan lain-lain. KH. Bishri Syansuri juga belajar kepada guru-guru Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari seperti Syaikh Ahmad Khatib Padang, Syaikh Syu’aib Daghestan, dan Syaikh Mahfudz Termas.

Sepulang dari Makkah tahun 1914, KH.M. Bishri Syansuri membantu mertuanya, KH. Hasbullah selama dua tahun, dalam mengelola pertanian dan pesantren Tambak Beras. Kepeloporan KH.M. Bishri Syansuri mulai terlihat saat beliau merintis pendirian pondok pesantren pada tahun 1917 di desa Denanyar, sebuah kawasan pabrik gula yang rawan kriminalitas. Hampir tiap hari terjadi pembunuhan sekali dengan sejumlah wanita tuna susila (WTS) yang menjalankan praktek prostitusi. Murid pertama KH.M. Bishri berjumlah empat orang, tiga orang dari tetangga sedesa dan satu orang dari luar desa. Mereka di tempatkan di mushola yang disekat menjadi tempat tinggal mereka.

Jiwa kepeloporan tersebut pun terus tampak pada tahun 1919, saat di mana KH.M. Bishri Syansuri mendirikan pondok pesantren perempuan, satu-satunya pondok pesantren perempuan yang ada pada masa itu. Santri-santri perempuan Kyai Bishri Syansuri yang pertama adalah para tetangga sekitar yang diajar di beranda belakang rumah Kyai Bishri sendiri. Berikutnya, pada tahun 1923, Kyai Bishri mendirikan madrasah salafiyah dengan nama Mabadi’ul Huda. Kepeloporannya semakin menguat saat usia 40 tahun, KH. Bishri Syansuri ikut serta mempelopori berdirinya organisasi Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Menurut Gus Dur, beliaulah orang yang berhasil menyakinkan gurunya Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari untuk mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama.

Setelah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari wafat, maka KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bishri Syansuri menjadi dwi tunggal dalam kepemimpinan pusat NU. Di mana ada peristiwa penting yang dihadiri oleh KH. Wahab Hasbullah, maka di situ hadir pula KH. Bishri Syansuri. Oleh sebab itu, saat KH. Wahab Hasbullah dipilih menjadi Rois ‘Am PBNU, menggantikan rois akbar Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, maka wakilnya adalahKH. Bishri Syansuri. Manakala, KH. Wahab Hasbullah wafat pada tahun 1971, maka KH. Bishri Syansuri pun dipercaya sebagai penggantinya sebagai Rois ‘Am PBNU hingga beliau wafat pada tahun 1980.

Keduanya memang terikat pertemanan sejak belajar ke KH. Kholil Bangkalan yang terus bersama-sama menimba ilmu pengetahuan dari para Kyai lainnya hingga belajar ke Makkah dan menikah di sana dengan Nur Khadijadh, adik KH. Wahab Hasbullah yang sedang menunaikan haji. Kesamaan visi dan cita-cita pergerakan kedua tokoh tersebut terus dipupuk saat sama-sama di bawah asuhan KH. Hasbullah (mertua Kyai Bishri). Keduanya juga sama-sama menjadi pelopor berdirinya forum kajian Taswirul Afkar, Nahdlatul wathon, Subbanul Wathon, dan akhirnya bersama-sama mendirikan Nahdlatul Ulama. Meskipun demikian, dalam ruang diskusi, keduanya adalah sosok yang bertolak belakang dan selalu berdebat saat bersua mendiskusikan suatu permasalahan. KH. Wahab Hasbullah senantiasa mengukur kondisi kesanggupan masyarakat untuk melaksanakan suatu hukum, sebab tujuan hukum adalah untuk diamalkan. Karena itu, KH. Wahab Hasbullah memilih hukum yang paling ringan selama masih dalam batas yang diperbolehkan. Sebaliknya, KH. Bishri Syansuri berpegang pada watak dasar manusia yang selalu ingin lari dari hukum meskipun hukum tersebut sudah yang paling ringan. Karena itu, KH. Bishri Syansuri memilih hukum yang paling keras dan hanya mengenal alternatif halal haram. Setidak-tidaknya, apabila seseorang membelot dari hukum yang paling keras, dia tidak melenceng terlalu jauh dan bisa diakomodir oleh standar hukum yang lebih ringan.

Setelah wafatnya KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bishri Syansuri menjadi rujukan terakhir organisasi NU.Hampir semua sengketa yang dihadapkan ke beliau, lalu beliau memutuskan, maka tidak ada yang akan membantahnya. Misalnya, dalam Kongres NU ke-26 di Semarang, dihadapkan kepada beliau sengketa mengenai tata cara pemilihan, bebas atau tidak bebas. Manakala beliau menetapkan tata cara pemilihan dengan bebas, maka tidak ada yang menolaknya.

“KH.M. Bishri Syansuri sebagai Pemimpin Politik”

Kedua, sebagai pemimpin politik, keterlibatan KH.M. Bishri Syansuri dimulai sejak menjadi Kepala Staff Markas Oelama Jawa Timur yang berpusat di Waru dekat Surabaya. Sehingga, pada saat kedatangan sekutu ke Surabaya tanggal 25 Oktober, KH. Bishri menjadi penghubung berbagai elemen dengan para para ulama dalam penggalangan perang 10 November 1945. Berikutnya, pada tahun 1946 beliau terlibat dalam keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) mewakili unsur Masyumi di mana NU tergabung secara politik. Keterlibatan KH. Bishri Syansuri di dalam pemerintahan lalu terhenti di masa agresi Belanda tersebut. Sebab, beliau melibatkan diri dalam perang Gerilya melawan Belanda. Pada tahun 1947 – 1949, KH. Bishri Syansuri menjabat sebagai Ketua Markas Pertempuran Barisan Hizbullah Sabilillah (M.P.H.S) dalam usia yang sudah menginjak 50 tahun. Beliau pun sempat membubarkan pesantrennya untuk sementara waktu. Beliau terlibat kembali dalam pemerintahan tahun 1955-1959 sebagai anggota Dewan Konstituante hingga lembaga tersebut dibubarkan Soekarno melalui dekrit 5 Juli 1959.

Kerasnya fikih KH. Bishri Syansuri juga dirasakan dalam dunia politik. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Soekarno membubarkan Dewan Konstituante dan DPR, lalu membentuk DPRGR dan kelengkapan negara lainnya. Pada saat itu, KH. Bishri Syansuri adalah kelompok dalam NU yang menolak langkah politik Soekarno tersebut, sementara kelompok KH. Wahab Hasbullah menerimanya. Menurut KH. Bishri Syansuri, cara pengangkatan DPRGR sebagai ganti dari lembaga yang dipilih oleh rakyat adalah pelanggaran terhadap kedaulatan rakyat yang haknya dijaga oleh fikih. Sebaliknya, KH. Wahab Hasbullah berpandangan, setelah Dewan Konstituante dan DPR dibubarkan, maka terjadi vacum kekuasaan yang bisa menimbulkan anarkhi. Oleh sebab itu, NU harus mengisi ruang tersebut. Pertentangan fikih dalam sikap politik tersebut juga sudah terjadi sebelumnya, saat KH. Wahab Hasbullah menghendaki NU keluar dari Masyumi pada tahun 1952-1953. KH. Wahab Hasbullah yang menduduki jabatan Ketua Dewan Syuro Masyumi mengkampanyekan NU keluar dari Masyumi.

Hasil Pemilu 1971 mengantarkan K.H. Bishri Syansuri kembali duduk sebagai anggota DPR RI dari unsur NU. Ketika PPP dibentuk oleh pemerintah Orde Baru dari unsur-unsur partai Islam peserta pemilu 1971, K.H. Bishri Syansuri pun ditunjuk sebagai Rais Am Majlis Syuro partai tersebut. Pada tahun 1974, RUU Perkawinan menyita banyak perhatian umat Islam sebab banyak bertentangan dengan ketentuan fikih. KH. Bishri Syansuri mengajukan amandemen besar atas RUU yang telah diajukan ke DPR RI tersebut. Rancangan tandingan yang dibuat bersama sejumlah ulama diperjuangkan di DPR hingga akhirnya disahkan. Begitu pula ketika ada usaha keras untuk mengganti lambang PPP dari Ka`bah ke bintang pada Pemilu 1977, beliau tampil dominan dan berhasil mempertahankan tanda gambar PPP. Keteguhan sikap KH. Bishri Syansuri juga terlihat dalam Sidang Umum MPR tahun 1978. Pada saat itu, fraksi PPP tidak sepakat dengan keputusan fraksi lain mengenai rancangan ketetapan MPR tentang P4. Seluruh anggota Fraksi PPP pun segera berdiri, dan dengandipimpin langsung oleh K.H. Bishri Syansuri, mereka beriringan walk out sebagai tanda tidak setuju terhadap hasil keputusan. Meskipun sudah berusia 92 tahun, Kyai yang menciptakan lambang ka’bah bagi PPP itu malah berjalan paling depan.

“Kepribadian KH.M. Bishri Syansuri”

KH.M. Bishri Syansuri adalah seorang yang teguh memegang perintah agama, tegas dalam fikih yang diterapkan kepada dirinya sendiri, keluarganya dan orang lain. Hal tersebut tampak dalam berbagai tindakan yang terekam oleh sejarah. Gus Dur bercerita, sewaktu Kyai Ahmad, putra KH. Bishri Syansuri, wafat, beliau teringat kalau putranya tersebut punya utang pada salah seorang pondok Lasem yang dicatat pada sampul kitab. Utang tersebut terjadi pada zaman Belanda dan hanya beberapa sen saja.Beliau pun menyuruh agar kitab tersebut dicari sampai ketemu. Setelah ketemu, utang tersebut dikembalikan dengan kurs sekarang yang jumlahnya mencapai ratusan ribu rupiah. KH. Bishri Syansuri juga pernah mengingatkan Bung Hatta yang menggunakan songkok menutupi dahinya saat sholat jumat dengan cara halus. Semenjak saat itu, Bung Hatta selalu mendongakkan songkoknya ke belakang saat hendak sholat. Dengan jabatannya sebagai angota DPR RI, beliau masih berkenan mengajarkan santri untuk mengaji Al-Quran. Demi agama, kadangkala keputusan KH. Bishri akan dirasakan keras bagi orang lain, misalnya keputusan beliau sebagai Rais ‘Am PBNU yang memberhentikan aktivis muda NU yang sedang bersinar, H. Subhan ZE, sebab diketahui melakukan sesuatu yang menyalahi standar fikih.

KH. Bihsri Syansuri juga seorang yang tawadhu’. Sebagai murid, KH. Bishri Syansuri sangat menghormati guru-gurunya. Di antara kisahnya adalah sikap beliau terhadap KH. Hasyim Asy’ari. Setelah bermukim di Jombang, secara periodik beliau berkunjung kepada Gurunya, Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari pada bulan Ramadan untuk mengaji kepada beliau atau berkunjung secara aksidental untuk menanyakan persoalan-persolan yang sedang di hadapi. Sebagai adik ipar, beliau sangat menghormati kakak iparnya yang sekaligus adalah teman karibnya, KH. Abdul Wahhab Hasbullah. Kyai Bishri tidak mau berjalan sejajar dengan KH. Wahab Hasbullah, selalu mengambil jarak 0,5-1 m di belakangnya. Beliau juga tidak mau menjadi imam sholat selama ada KH. Wahab Hasbullah.

Meskipun berkiprah di dunia politik, KH. Bishri Syansuri juga bukan orang yang haus akan kedudukan dan jabatan. Hal itu berlaku pula saat beliau terpilih sebagai Rois ‘Am PBNU pada muktamar NU di Bandung pada tahun 1967, perolehan suaranya mengalahkan KH. Wahab Hasbullah. KH. Wahab Hasbullah saat itu sedang sakit mata sehingga dianggap “sudah udzur”oleh segolongan muktamirin. Maka, KH. Bishri Syansuri langsung berdiri di atas podium dan mengatakan: “Saya tidak bersedia dicalonkan maupun dipilih menjadi rois ‘am selagi KH. Abdul Wahhab Hasbullah masih ada. Karena itu, saya menyatakan untuk mengundurkan diri dan kembali menyerahkan jabatan itu kepada K.H. Abdul Wahab Chasbullah”. Menanggapi sikap K.H. Bishri Syansuri, K.H. Abdul Wahab Chasbullah pun menerima amanah itu. Sementara K.H. Bishri Syansuri pun dipercaya sebagai Wakil Rais Am. Semua itu menunjukkan bahwa keaktifan KH. Bishri Syansuri di dalam dunia politik, semata-mata merupakan pengamalan terhadap perintah agama.

Writer: Ahmad Nur Kholid, alumni Ponpes Mamba'ul Ma'arif angkatan 2000

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun