Mohon tunggu...
Ahmad Nur Kholid
Ahmad Nur Kholid Mohon Tunggu... -

Aktivis, Penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Jepang dan Belanda

23 Oktober 2014   21:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:58 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam kaitannya membentuk konsep Indonesia, Jepang memilik beberapa peranan. Pertama, Jepang membantu terbentuknya identitas nasional dengan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama. Sebaliknya, saat Belanda menjajah Indonesia, bahasa Belanda digunakan sebagai bahasa utama. Kebijakan yang dilakukan Jepang ini dapat dikatakan cukup banyak mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia. Berbeda dengan Jepang, Belanda menjadikan bahasa Belanda sebagai bahasa utama. Bahkan, penggunaan Bahasa Indonesia seorang anggota Volksraad, Jahja Datok Kajo dalam sidang volksraad mendapatkan cibiran yang sangat.

Kedua, Jepang menyiapkan keterampilan militer bagi putera-putera pribumi. Bentuk-bentuk pelatihan memberikan banyak nilai positifbagi para pemuda Indonesia. Para pemuda kita tidak hanya dilatih kemampuan dan keterampilan militernya dalam menggunakan senjata tetapi sikap dan mental seperti disiplin, keuletan/daya juang yang tinggi, kerja keras, jujur dan berani menghadapi tantangan serta memiliki tanggung jawab. Di antara kesatuan yang dibentuk Jepang yaitu: Gerakan Seinendan/Gerakan pemuda (9 Maret 1943 ), berusia 14 – 23 tahun, memililki sekitar 3500 anggota; Barisan Pelajar (Gokutai) untuk pelajar SD–SLTA; Barisan Bantu Polisi (Keibodan), dengan syarat yang lebih ringan dari Seinendan, usia yang diprioritaskan ± 23 – 25 tahun sekitar 28.000 orang; Barisan Pembantu Prajurit Jepang (Heiho), April 1943, usia ± 18 – 25 tahun, dengan pendidikan terendah SD; Barisan Semi Militer khusus, Hizbullah; Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) tanggal 3 Oktober 1943, pendidikan terendah SD; dan Barisan Pelopor. Satuan-satuan tersebut, semuanya adalah orang pribumi dan beberapa di antaranya dikomandoi oleh pribumi.

Berbeda dengan Jepang, satuan militer KNIL yang dibentuk oleh Belanda adalah gabungan pribumi dan non pribumi sehingga lebih sulit melahirkan sentimen nasionalisme. Selain itu, KNIL tidak dikomandoi oleh pribumi dan baru dibubarkan pada tahun 1950 (Lima tahun setelah Indonesia merdeka) sebagai bagian kesepakatan Konferensi Meja Bundar. Pihak Belanda menuntut agar anggota KNIL yang berjumlah 60.000, jika ingin bergabung dengan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama. Tuntutan tersebut disepakati dan menjadi keputusan KMB.

Ketiga, Jepang memperkuat eksistensi pribumi dengan mendirikan organisasi pribumi resmi bernama “Jawa Hokokai” yang menjadi organisasi penghubung antara pihak pribumi dan pihak Jepang. Melalui lembaga ini, Jepang pernah menyampaikan janji kemerdekaan, lalu dibentuklah Benteng Perjuangan Jawa (Jawa Sentotai) sebagai badan perjuangan dalam Jawa Hokokai.

Berbeda dengan Jepang, Belanda menghalang-halangi tumbuhnya organisasi pribumi. Bukti dari hal itu, permohonan izin Sarekat Islam (SI) sebagai organisasi massa pertama di Indonesia dipersulit. Belanda bahkan berusaha memecah belah Sarekat Islam dengan hanya memberi izin Sarekat Islam di tingkat daerah, meskipun akhirnya SI mendapatkan izin.

Keempat, Jepang ikut menumbuhkan kepemimpinan nasional dengan mengangkat pemimpin pergerakan nasional menempati jabatan-jabatan penting. Misalnya, Kepala Departemen Urusan Agama dipegang oleh Prof. Husein Jayadiningrat; Shucokan (Kepala Karesidenan) Jakarta dipegang oleh Mas Soetardjo Kartohadikoesumo; dan jabatan lain seperti Sanyo (penasihat pemerintah militer, Departemen Urusan Umum dan Dalam Negeri serta Departemen Kehakiman dan Perekonomian.

Berbeda dengan Jepang, Belanda tidak memberikan ruang lebih bagi pribumi di tempat strategis. Meskipun mendirikan lembaga pendidikan (sebagai bentuk politik etis/balas budi yang dicetuskan tahun 1901), Belanda hanya mentargetkan lulusannya menjadi pegawai-pegawai administrasi yang diperlukan pemerintahan. Sebaliknya, dengan sudut pandang lain, pendirian lembaga-lembaga pendidikan tersebut juga bisa dimaknai sebagai strategi untuk menghambat kemunculan tokoh dari hasil pendidikan tradisional Indonesia, pesantren. Sebab, lembaga pendidikan tradisional Indonesia, pesantren telah menggalang perlawanan rakyat untuk mendukung perang jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro (1825 - 1830). Kebijakan politik etis ini sangat mungkin berkat nasehat Snouck Hugronje yang melakukan kajian pranata sosial di Nusantara sejak 1889 – 1906.

Kelima, Jepang menambah kepercayaan diri bangsa Indonesia untuk merdeka dengan mengeluarkan janji kemerdekaan. Janji tersebut disampaikan pada 19 September 1944 melalui Perdana Menteri Kaiso Kuniakiyang sering disebut dengan istilah Deklarasi Kaiso. Sejak saat itu pemerintah Jepang memberi kesempatan pada bangsa Indonesia untuk mengibarkan bendera merah putih berdampingan dengan Hinomaru (bendera Jepang), begitu pula lagu kebangsaan Indonesia Raya boleh dinyanyikan setelah lagu Kimigayo. Berbeda dengan Jepang, Belanda selalu menjatuhkan martabat dan keyakinan Bangsa Indonesia dengan berbagai sebutan yang merendahkan serta menjadikannya masyarakat kelas tiga setelah Tionghoa, Arab, dan India. Sementara itu, eropa/ras kulit putih, utamanya Belandaadalah warga kelas pertama.

Keenam, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia disingkat BPUPKI/Dokuritsu Junbi Cosakai pada 1 Maret 1945 melalui panglima tentara ke-16 Letnan Jendral Keimakici Harada. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 fungsi dan peranan PPKI berubah menjadi wakil seluruh rakyat Indonesia, badan resmi yang berwenang mengesahkan UUD Negara, badan yang memilih presidan dan wakil presiden, badan pendiri negara Republik Indonesia, dan badan tertinggi Negara Republik Indonesia. Berbeda dengan Jepang, Belanda tidak pernah memberikan janji merdeka. Bahkan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945, Belanda berkeinginan kembali lagi ke Indonesia dan ingin menjajah kembali dengan dibantu oleh pasukan sekutu.

Dibanding Belanda, Jepang lebih memfasilitasi konsep Indonesia sebab keinginan mereka menarik simpati rakyat Indonesia. Jepang ingin rakyat Indonesia membantu mereka menghadapi sekutu pada PD II. Terlebih lagi, pada saat itu wilayah jajahan Jepang satu persatu mulai jatuh ke tangan sekutu. Jepang sepertinya ingin meniru Perancis yang menguasai Maroko dengan memanfaatkan para pemuda Maroko itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun