Kupandangi foto yang mulai menguning dalam album tua itu. Aku terpaku pada sosok wanita langsing, cantik dengan garis muka yang tegas dengan kulit agak gelap tengah tersenyum. Di samping foto itu tertulis “Jogjakarta 1957. Sri umur 17 Tahun”.
“Ah ibuku cantik yaaa…”, kataku dalam hati… “Ibumu, memang cantik. Cantik orang Jawa,” demikian bibiku pernah mengatakan padaku.
Lalu kubuka album foto lain yang agak baru, tahun 2000-an. Kulihat sosok wanita yang sama, namun banyak perubahan di sana ….. Kulihat kerutan di bawah mata, muka, rambut yang kian memutih, badan yang mulai gemuk, dan tatapan yang sendu.
Oh..aku jadi teringat. Akhir-akhir ini kulihat mata tua yang sendu itu kerap meneteskan butiran air mata. Namun, ketika kutanya kenapa, ia hanya tersenyum, dan menggelengkan kepala. Bibirnya mengatup setengah tergetar, seperti menahan perasaan. Tapi aku tahu kemudian, butiran airmata itu adalah butiran kerinduan pada sosok almahum bapakku yang telah bersama ibuku lebih dari 40 tahun. Belahan jiwanya sudah hilang.
Coba kukembalikan memoriku mengenai figur perempuan yang kini mulai sakit-sakitan ini. Perempuan ini yang selalu mendampingiku sewaktu aku kecil. Ia yang selalu membelaiku sewaktu aku takut. Ia yang menasehati dan memarahiku bila aku salah langkah. Ia yang selalu disisiku dan membelaku bila aku tak berdaya.
Ah…sudah setua ini kah ibuku sekarang?? Mengapa aku ini??
Mengapa aku tidak begitu memperhatikan perubahan fisiknya yang kian renta? Mengapa aku tidak sensitif pada perasaannya?
Mungkin pekerjaan dan kesibukan telah menyita perhatianku dari orang yang kusayangi. Meski selama ini aku selalu bersamamu dan menemanimu, tapi aku merasa telah mengabaikan dirimu.
Ketika tiba saatnya, aku hanya bisa berdoa dan mohon maaf di kupingnya saat mata tua itu menitikkan air mata untuk terakhir kalinya.
Aku masih belum bisa membahagiakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H