Ia hadir begitu saja. Bahkan aku tidak tahu siapa dia saat itu. Hanya sebuah nama muncul dalam benakku. Yang kutahu, dia yang kukenal dan kuingat bermata bulat dan rambut pendek dengan poni di dahi. Tetapi itu lebih dari 30 tahun lalu.
Hampir enam tahun silam ia hadir kembali. Rambut terurai dengan alis mata tebal, dan senyum indah dalam bingkai wajah sedikit oval mendera hati saat kulihat berjalan memasuki ruangan pada awal 2007.
Tidak banyak kata-kata terucap pada awalnya. Aku hanya menyalaminya dan berkata "Apa kabar", entah apa dia ingat aku atau tidak. Ia hanya menjawab dengan senyuman.
Senyum itu.. Ah, kucoba kembalikan seluruh memori 30 tahun silam. Masih tetap sama. Namun perbedaannya adalah aura begitu kuat. Paduan antara keindahan dan kecantikan seorang wanita (demikian aku coba gambarkan) begitu kuat dan membias sehingga mampu memicu berpuluh pasang mata untuk berpaling padanya.
Singkat kata, kami banyak saling menyapa dan berdiskusi apa saja. Tentang hidup, cinta, lagu, musik, perasaan dan hal-hal sepele yang sebelumnya terasa aneh bila dibicarakan. Ada cerita tentang awan, kabut, burung, air, yang menjadi indah jika kutuliskan dengan membayangkannya. Dengannya, tiap hal menjadi awal suatu perbincangan yang panjang, terkadang saling berargumentasi.
Entah kenapa aku ini. Belum pernah aku rasakan perasaan begitu hebat seperti yang kualami pada pertengahan 2007 itu. Bahkan ketika aku dulu berpacaran, belum pernah ada perasaan seperti ini. Begitu menyiksa ketika tidak menyapa. Seperti merana ketika tak berjumpa. Gila....! Ada apa denganku?
Mimpi indah seperti kerap hadir dalam tidurku. Padahal aku jarang bermimpi sebelumnya. Entah berapa ribu kilometer sudah kujalani dan berapa juta detik kuhabiskan dengannya. Sekedar bertatap muka dan berbincang, sembari menimati indahnya gunung antara Bogor Cipanas, dinginnya angin malam, cerlangnya bintang, bahkan macetnya jalan-jalan di Jakarta.
Hujan sepanjang jalan antara Jakarta Bandung lewat Subang tahun 2007 Â silam merupakan salah satu momen terindah yang kujalani dengannya. Kidung cinta dari Rossa menyertai perjalanan kami yang berkabut dalam pendakian ke arah Lembang memasuki Bandung malam itu. Masih banyak lagi cerita indah tercipta di antara kita. Garut, Tasik, Bogor, Puncak, Cipanas... Ahhh.
Kini kisah-kisah itu terasa seperti monumen manis namun terkadang pahit untuk dikenang. Aku menyadari siapalah diriku, seperti dia akhirnya menyadari siapa dirinya.
Impian dan harapan seperti sisi mata koin. Satu sisi memberi angan-angan tak terhingga yang mampu melambungkan fantasi. Di satu sisi, ada harapan yang membuat seseorang mampu membangun cita meski terkadang getir.
Seperti diriku yang kini terus membangun harapan dengannya dengan mimpi-mimpi indah yang masih terus hadir namun terkadang terasa menyakitkan.